Minggu, 05 Februari 2012

TEATER COPO,KOMUNITAS TEATER YANG IKHLAS DAN TERBUKA




Perjalanan dan silaturahmi menuju kualitas seni.


Copo, dalam bahasa lokal berarti lampu yang umumnya terbuat dari kaleng susu bekas dan berbahan bakar minyak tanah. Kata ini kemudian dipilih oleh Eteng Irsyad,S.Sn (pendiri teater copo) untuk digunakan sebagai nama kelompok teater yang dibentuknya pada tahun 2008 di Kota Palu sejak kepulangannya dari Bandung dalam rangka “belajar teater” di STSI dan sebelum hijrahnya beliau ke kampung halamannya di Kabupaten Buol.
Bagi teman – teman teater copo sendiri, esensi dari tajuk komunitas mereka adalah penyimbolan terhadap makna pencarian ide dan gagasan yang dikemas menjadi sebuah bentuk tontonan, dimana mutlak didalamnya terdapat unsur-unsur estetika yang kental, teknik artistik, serta manusia-manusia yang sedang menjalani proses perpindahan karakteristik dan proses mengolah rasa seutuhnya.
Dalam satu pertemuan dengan Eteng Irsyad pada sebuah pertunjukkan teater yang kebetulan kami hadiri bersama, dia berkelakar ketika saya menanyakan perihal keputusannya untuk berdomisili di Kabupaten Buol dan kemudian membangun sebuah komunitas baru di sana dengan nama Ngaang yang berarti cahaya. Katanya “ kalau lampu copo dan apinya kini di Palu,biarlah cahayanya ada di buol”. Mungkin menurut eteng sendiri bahwa membangun keterikatan moral antar anak-anak didiknya adalah sesuatu yang penting,meskipun saat itu satu-satu nya jembatan silaturahim adalah dirinya sendiri yang notabene dekat bahkan berstatus pendiri di dua kelompok teater ini. Mulia memang, tapi sesungguhnya hal ini menyisakan pertanyaan yang cukup besar bagi saya,kecemasan barangkali lebih tepatnya. Saat itu kawan kawan copo sedang “puber-pubernya”, mereka keranjingan pentas serta menonton pertunjukkan, dalam situasi ini seharusnya (menurut saya)eteng lebih intens untuk membimbing anak-anaknya,. Sungguh diluar dugaan kalau dia lebih memilih untuk berdomisili di Kabupaten Buol yang berjarak ratusan kilo dari kota Palu dan malah membangun lagi sebuah komunitas teater yang baru disana.
Mengapa saya harus cemas menyoal perihal yang cenderung privasi bagi seorang Eteng Irsyad?!
Kepulangan empat orang “tadulako” dari studi teater mereka di Bandung saat itu menurut saya merupakan peluang besar bagi para generasi yang ingin berkecimpung lebih serius didunia seni pertunjukkan khususnya, dan mereka mereka ini diharapkan mampu membawa atmosfer yang jauh lebih segar bagi wajah tetaer kota palu secara umum. Adalah sebuah langkah awal yang baik ketika Azmi Anwar S.Sn membentuk komunitas To-unlimited yang mulai berproses di taman Budaya Sul-Teng,selain berteater To-unlimited mulai terlihat aktif dalam kerja-kerja stage managing di panggung-panggung pertunjukkan yang digelar pemerintah daerah Provinsi. Subrata Kalape S.sn segera memutuskan pulang ke Luwuk Banggai untuk membangun potensi kesenian-kesenian rakyat disana lewat teater,tari dan musik.Al-hasil, saat ini Kabupaten Luwuk Banggai mampu menjadi salah satu Kabupaten yang patut diperhitungkan pada event-event kesenian di level provinsi bahkan nasional.Ade Fitriani Idris,S.Sn,setelah cukup lama melakukan solo karir dengan membantu beberapa komunitas-komunitas kesenian seperti lentera,pedati,banuatapura, Lembaga To Kaili Bangkit,pitate dll dalam garapan-garapan mereka baik secara tekhnis artistik maupun managemen produksinya kemudian beliau akhirnya membentuk sebuah komunitas seni bernama Darsah yang melibatkan cukup banyak generasi muda. Sementara Eteng Irsyad,S.sn sendiri yang pada awalnya memilih untuk menjadi pengajar lepas bidang studi seni budaya pada salah satu Sekolah Kejuruan menengah atas di Kota Palu mulai mengumpulkan “bibit-bibit unggul” di setiap angkatan untuk membentuk embrio teater Copo. Nah, ketika “bola salju” teater mulai digulirkan, eteng irsyad justru menghilang di awal-awal etape. Hal ini jelas memiliki konsekuensi cukup besar bagi strategi juang anak-anaknya. Kita harus mengakui bahwa pengaruh individu seorang seniman terhadap kelompok yang dibentuknya terbilang kuat bahkan terkadang tekhnik-tekhnik mereka mampu menjadi ciri khas kelompok itu sendiri. Kecendrungan ini memang hampir terjadi di setiap kelompok-kelompok kesenian baik yang telah memiliki nama besar maupun yang tengah merintisnya, misalnya saja nama Rahman Saboer yang identik dengan teater Payung Hitam atau alm.Ags arya Dwipana yang mampu memberikan pengaruh secara utuh bagi teater tetas, seorang putu wijaya yang ternyata 90 % lebih karya-karya teater mandiri adalah penyutradaannya sendiri, termasuk teater koma yang tetap menggantungkan kepercayaan penyutradaraan pertunjukkan – pertunjukkan besarnya melulu pada Nano Riantiarno. Di tanah tetangga kita Makassar, berlaku juga hal serupa, Asdar Muis RMS yang walaupun bukan satu-satunya pendiri Komunitas Sapi Berbunyi ternyata mampu menjadi icon salah satu komunitas yang terbilang populer di makassar ini,atau bagaimana karya-karya teater kita makassar yang banyak menggambarkan capaian-capaian berkeseniannya Asia Ramli Prapanca.Kelekatan ini sesungguhnya baik bagi komunitas namun menyimpan resiko yang cukup besar pula, lihatlah bagaiman teater Ketjil nya Alm.Arifin C.Noer harus rubuh perlahan-lahan sepeninggalan beliau, dan bagaimana pula StudiKlub Teater Bandung kehilangan gaung setelah pendirinya almarhum Suyatna Anirun meninggal dunia. Hal-hal tersebut tidak berbeda dengan yang kita alami di kota Palu ini, individu-individu seniman kita mampu memberikan pengaruh yang kuat bagi komunitas-komunitas mereka saat masih berada dalam satu lingkaran dengan komunitasnya, namun resiko yang diungkapkan di atas juga harus menjadi konsekuensi yang dialami komunitas dalam rangka penyesuaian terhadap pergesaran maupun pencapaian sang seniman. Di kota Palu ini kita pernah mengenal beberapa komunitas yang begitu tajam dan total dalam menggarap serta menyajikan karya-karya nya, seperti Zat Sibalaya,Kanamajadi,Plak-Plik,Warung Gerak Teater Caplak. Namun setelah seniman-seniman berpengaruh yang ada dilamnya memilih hijrah karena berbagai macam penyebab,maka hal ini berdampak keras pada intensitas serta prodiktivitas kerja-kerja kesenian yang dilakukan komunitasnya. Setelah Hanafi Saro meninggalkan desa Sibalaya,maka Zat sibalaya ikut redup, sama halnya yang terjadi dengan Bengkel Teater Kanamajadi yang dirintis Erwin Siradjuddin,S.Sn harus tenggelam ketika “Punggava” nya ini meninggalkan kota Palu untuk menjadi mahasiswa Institut Seni Indonesia di Jogjakarta,atau bagaimana ketika Almarhum Muchlis meninggal dunia maka Warung Gerak Teater Caplak yang didirikannya bersama Ahmadi,Muchsin dan Oyong harus berangsur-angsur hilang. Bahkan Plak-plik yang dulu selalu “megah” di atas pentas pun jadi patah juga akhirnya ketika anggota-anggotanya mulai berseberangan dengan sang sutradara Agus Tan T.syam.
Inilah mengapa saya harus merasa gelisah terhadap keputusan Eteng Irsyad untuk berpisah dengan copo secara jarak. Saya mencemaskan semangat anak-anak didik beliau sebetulnya. Jika boleh saya katakan “ untuk apalah sebuah lampu dengan api yang besar jika di sekitarnya tetap gulita karena cahaya yang diharpakan dari lampu itu justru menerangi tempat yang lain”
Namun syukurlah, sepertinya dampak yang saya cemaskan dari keputusan Eteng Irsyad barangkali belum dan semoga tidak akan terjadi. Adalah orang-orang seperti Ipin Kevin,Yadhi dan Kenneth yang mampu menyelamatkan copo dari hal-hal yang menjadi kekhawatiran sebahagian besar kawan-kawan di kelompok teater ; Bubar Jalan!!
Ipin dan kawan-kawan yang ada di copo mencoba untuk terus konsekuen dengan pilihan-pilihan yang telah mereka tentukan ini.Dengan segala macam keterbatasan ilmu,ruang,personil,dan finansial namun Karya demi karya setiap tahunnya terus mereka gelar di atas panggung. Entah seperti apa bentuk apresiasi yang akan lahir dari para pengamat serta penikmat-penikmat teater, tidak begitu dijadikan beban,toh nantinya mereka akan mendapat pelajaran yang berharga dari sebuah proses pertunjukkan untuk kemudian dijadikan bekal lagi menuju garapan selanjutnya. Bagi saya, kesan yang dilahirkan kawan-kawan copo disetiap proses-proses keseniannya adalah ikhlas. Ya, mereka terlihat begitu ikhlas tergelincir semakin jauh kedalam labirin-labirin kesenian.
Selain itu, kelompok teater ini juga sangat terbuka terhadap saran dan kritik dari senior maupun teman-teman yang berasal dari komunitas lain. Ketika mendapatkan masukkan terhadap proses-proses pertunjukan yang sedang atau yang akan dijalani, mereka menanggalkan pikiran-pikiran negatif terhadap bentuk-bentuk input yang datang tersebut,mereka terlihat selalu bersusaha menjadi sebuah “ember kosong” yang ingin menampung air sebanyak mungkin guna bekal menghapus dahaga di atas panggung nantinya. Tidak sedikit garapan-garapan mereka yang mendapat perhatian secara konsep dan tekhnis dari pekerja-pekerja seni kota Palu yang potensial dan lebih dulu melahap asam garam pada panggung-panggung pertunjukkan, misalnya saja Muhmmad Noerdiansyah,S.Sn dari teater lentera yang intens memberikan apresiasinya pada waktu-waktu latihan menjelang pertunjukan,juga emhan saja dan nashir umar dari komunitas seni tadulako kerap kali terlihat berdiskusi dengan serius terhadap persiapan-persiapan karya-karya yang akan di sajikan teater copo.Fitriani Idris S.Sn dari sanggar seni darsah serta Ashar Yotomaruangi dari Lembaga To Kaili bangkit pun selalu setia membantu kebutuhan-kebutuhan tekhnis pertunjukakan maupun dukungan moralnya terhadap teater copo. Hubungan silaturahmi yang dijaga baik ini ternyata membuahkan banyak hal positif dan kemudian digunakan oleh-oleh teman teater copo sebagai pendukung menuju karya-karya seni yang tetap memperhatikan keutuhan bentuk dan kualitas estetika dalam teater itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar