MENUJU OLYMPUS #1
Bab Intro
S A T U
Dari Segenggam Tanah, Menuju Bumi Yang lengkap
Kun-ca !
Huwa...
Hiyya....
Planet bersatelit bulan ini tidak lebih dari benda mati yang berupa bulatan basah ketika semuanya bermula. Sunyi. Hanya air. Air, udara dan cahaya. Tak ada kicau burung diwaktu sunrise sebab pohon tak punya tempat tumbuh guna burung-burung bertengger dan berkembang-biak. Entah dimana juga kawanan tetes embun menghabiskan seperempat malam mereka sebelum diuapkan oleh fajar. Barangkali ada hamparan rumput di atas awan. Entahlah. Yang pasti takdir tidak berhenti dititik tertentu dalam menorehkan garis-garis pada kehidupan. Bahkan ketika garis yang di buat hanyalah garis yang paling datar sekalipun. Bisa jadi bulan dan matahari sendiri sebagai sumber terang dan energi satu-satunya saat itu, atau salah satu dari mereka yang telah memanjatkan doa pada penciptanya untuk segera mengakhiri rentetan kebosanan. Sunguh-sunguh monoton memang bagi benda-benda di jagad langit. Mereka merasa lelah dan teraniaya karena seluruh cahaya yang dimuntahkan hanya untuk dipantulkan kembali oleh genangan air di bumi.
Tiba-tiba dari belahan angkasa paling atas menggelegar suara. Bunyinya “kun-ca”. Segenggam tanah yang dikelilingi tabir putih mendesing di udara. Bagaikan anak panah melesat dari busur kayangan menuju jantung bumi. Dihisap oleh gravitasi, dia menggesek semua lapisan atmosfer yang dijumpai. Lalu hening. Gelap. Gerhana barangkali. Sesaat kemudian, bumi jadi bergelombang mirip bendera diterjang angin kencang. Bermunculanlah daratan, gunung-gunung, batu-batu karang raksasa dari sela-sela genangan air. Semenanjung-semenanjung mulai terbentuk, pada tepi setiap daratan yang bersinggungan langsung dengan air muncul pantai-pantai. Segenggam tanah yang menjadi cikal bakal seluruh daratan di Dunia ini masih berupa segenggam tanah, hanya saja sekarang berada di atas salah satu pulau yang dia lahirkan. Sampai pada waktu ketika semua “benda-benda baru” telah tertancap dengan kokoh pada akar masing-masing, segenggam tanah itu diubah menjadi seorang manusia. Laki-laki.
Terdengar lagi suara dari langit, “Huwa” jadilah kepalanya.
“Huwa” kedua terbentuklah badan dan sepasang tangan.
“Huwa” terakhir untuk kedua belah kaki dan kelaminnya.
Pada pusar daratan tempat laki-laki ini diciptakan menjulang sebuah pohon tinggi dan dikelilingi oleh rumpun-rumpun bambu yang kilauannya mampu mengirim kembali silau matahari kepada langit. Lalu di teteskan roh pada salah satu pucuk bambu yang warnanya paling emas. Roh itu berkelebat menuju akar, melindungi setiap buku-bukunya kemudian melahirkan seorang lagi manusia dari dalam batangnya. Wanita.
“Hiyya” menjelmalah kepala dan paras yang lembut.
“Hiyya” berikutnya menumbuhkan badan beserta sepasang tangan, lalu kaki dan kewanitaannya di munculkan pada
“Hiyya” yang ke tiga.
Mereka berdua dipertemukan untuk menunaikan pengembaraan perdana di lembar sejarah dan mengeksekusi tugas mulia manusia sebagai rahmatan lil alamin sekaligus peletak batu pertama dalam galian pondasi peradaban.
Maka, segala sesuatu yang sudah hadir lebih dulu mulai belajar dari proses penciptaan terdahsyat yang baru saja terjadi. Pelajaran pertama mereka adalah menemukan pasangan masing-masing. Tiba-tiba langit jadi begitu dekat dengan samuderanya. Semua makhluk menebarkan cinta, dan cinta mereka itu tidak kurang serta tak pernah berlebihan. Cinta yang seimbang. Mesra. Pelajaran selanjutnya bagi mereka adalah berkembang biak, membelah diri, dan ber-evolusi untuk menuju pelajaran paling hakiki yaitu menceburkan kefanaannya secara berjamaah kepada sebuah cahaya yang Esa. Begitulah Tuhan menjawab doa matahari atau bulan yang merasa teraniaya oleh dinamika suasana yang sebelumnya menggelinding begitu lambat. Lengkap sudah dunia beserta isinya.
****
mantap tulisannya ...membawa saya ke dalam wawasan yang baru
BalasHapus(Wisnu Murti,http://tulisandenpasar.blogspot.com)