Sabtu, 11 Februari 2012

Kakula dan Budaya Gong di Asia Tenggara




Oleh: Amin Abdullah, Praktisi Seni dan Kebijakan Kebudayaan, tinggal di Sulawesi Tengah.

Ansamble musik ini eksis di daerah Kaili. Ia bagian tak terlepas dari kebudayaan gong di Asia Tenggara. Kalau orang Kaili itu menyebut ensmbel bernama kakula ini sebagai musik “asli” mereka, bolehlah itu disebut perspektif.

Berbicara mengenai kakula atau kakula nuada atau kakula tradisi, istilah untuk menamakan sebuah ansambel gong yang dimainkan oleh etnik Kaili di Sulawesi Tengah, sesungguhnya kita juga membicarakan penyebaran budaya gong di Kepulauan Asia Tenggara. Meskipun sebagian orang Kaili menyebut kakula sebagai kesenian “asli” mereka, dia ternyata tidak turun dari langit. Ia memiliki hubungan dengan instrumen sejenis di Kepulauan Asia Tenggara yang dalam istilah etnomusikologi, umumnya disebut kulintang.
Tulisan ini tidak hanya mencoba menggambarkan hubungan kakula dengan penyebaran budaya gong dan Islam di kepulauan Asia Tenggara. Namun, juga melihat perkembangan kakula setelah zaman kemerdekaan. Terutama oleh pemerintah dengan membuat kakula kreasi baru dengan penambahan fungsi kakula, pengaruh musik Barat, dinamika gender serta pengaruh gamelan Jawa dan Bali.

Bagian Budaya Gong
Kakula tradisi, pada masyarakat suku bangsa Kaili di Palu, Sulawesi Tengah, memiliki fungsi yang tak terpisahkan dengan daur hidup masyarakat pendukungnya, misalnya sebagai upacara akil balik, perkawinan, juga upacara kematian. Yang paling umum saat ini adalah dipakai sebagai penanda status golongan tertentu pada saat perkawinan. Artinya, ketika kakula terdengar, maka itu bertanda ada golongan bangsawan Kaili yang melangsungkan perkawinan.
Kakula adalah sebuah istilah synecdoche yang berarti mempunyai pengertian umum dan khusus. Secara umum, kakula adalah istilah untuk menamakan sebuah ansambel yang terdiri dari kakula itu sendiri (berbentuk seperti bonang) yang berfungsi sebagai pembawa melodi dengan iringan dua buah go atau tawa-tawa, gong berukuran sedang dan satu atau dua buah gimba atau gendang. Adapun dalam pengertian khusus, kakula berarti instrumen yang terdiri dari tujuh buah gong kecil yang berderet. Bilah-bilah kakula diletakkan dalam penampang satu baris, di mana bagian bawahnya diberi tali. Di samping itu istilah kakula juga untuk menyebut musik yang dihasilkan oleh instrumen tersebut.
Penyebaran budaya gong di kepulauan Asia Tenggara—dengan kakula sebagai salah satunya—membentang mulai dari Sumatra hingga Filipina Bagian Selatan (Malm, 1977). Di luar wilayah Indonesia, kakula itu sejenis dengan kulintang di Philipina bagian Selatan pada suku bangsa Maranao (Cadar, 1996) dan Maguindanao (Kalanduyan, 1996) di Pulau Mindanao, juga mirip kulintangan di Sabah Malaysia (Frame, 1982) dan gulintangan pada etnik Brunai Malay dan Kendayan di Brunai (Brunei Delegation, 1974).
Di dalam wilayah Indonesia sendiri, kakula itu mirip dengan talempong, calempong atau canang di Sumatra Barat, serupa juga dengan kelintang atau kromong di Bengkulu, atau kromongan, canang, kelitang di Sumatra Selatan (Kartomi, 1998) dan gong sembilan atau gong dua belas di Maluku (Cadar, 1996). Sangat dimungkinkan masih bisa ditemukan ansambel sejenis di daerah-daerah lain yang belum diketahui.
Di pulau Sulawesi, budaya gong sejenis kakula terdapat juga di Sulawesi Utara. Kaudern menggunakan istilah musik kolintang sebagai musik yang mengiringi mongolong, matarek dan tarian perang orang Minahasa (Kaudern, 1944). Budaya gong selanjutnya juga terdapat di Kendari, Sulawesi Tenggara, dan Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Di Sulawesi Tengah, selain di komunitas orang Kaili, juga terdapat di Buol dan Tolitoli.
Keberadaan sebuah instrumen dapat menjadikannya indikator kontak budaya antar manusia. Bila bentuk yang sama dari instrumen ditemukan di daerah yang terpisah, ada kemungkinan kuat bahwa instrumen itu dibawa dari sebuah tempat ke tempat yang lain, atau dari dua wilayah ke wilayah yang ketiga.
Gong olehnya diidentifikasi sebagai salah satu alat perdagangan yang digunakan oleh pedagang-pedagang Melayu yang nota bene Islam. Itulah sebabnya, oleh Joce Maceda (etnomusikolog Filipina) disebut sebagai (bagian dari) “Malay culture”. Anthony Reid, sejarahwan, menyebut “abad perdagangan” periode abad ke-15 hingga ke-17 sebagai masa di mana instrumen ini menyebar. Di mana pada saat itu hubungan dagang di antara kepulauan Asia Tenggara sangat aktif dibanding dengan abad-abad yang lain. Para pedagang itu diidentifikasikan sebagai orang Melayu dengan mengindahkan bahwa mereka dapat saja berasal dari Jawa, Mon, India, China dan Filipina (Reid, 1988).

Kakula Kreasi
Perkembangan Kakula di Sulawesi Tengah menjadi menarik terutama setelah zaman kemerdekaan. Pemerintah melalui Instansi Kebudayaan mengembangkan fungsi kakula tradisi bukan hanya dalam fungsinya pada upacara perkawinan, namun untuk mengiringi tari dan lagu daerah serta komposisi baru. Kakula ini disebut kakula kreasi baru.
Beberapa perubahan yang terjadi dapat ditengarai sebagai pengaruh Barat, dinamika gender, gamelan Jawa dan Bali. Pengaruh Barat dapat dilihat dari berubahnya tangga nada dari locational tunning (penyeteman berdasarkan kebiasaan pemain lokal di mana tidak ada jarak nada yang tetap) menjadi mengacu pada well-tempered Barat. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengiringi lagu daerah dengan memainkan pergerakan triad chord secara arpeggio. Di sini kita melihat pengaruh musik Barat yang sederhana erat mempengaruhi perkembangan kakula kreasi. Seperti kita ketahui, di Indonesia Bagian Timur pengaruh musik Barat yang sederhana cukup kuat mempengaruhi perkembangan musik tradisi.
Selain itu, dinamika gender juga terjadi pada perubahan kakula tradisi ke kakula kreasi baru. Sejatinya, kakula tradisi dimainkan oleh wanita atau gender ketiga (waria). Namun, setelah kakula kreasi dimainkan di proscenium stage, laki-laki kemudian kebanyakan mengambil alih fungsi tersebut.
Pengaruh gamelan Jawa dan Bali dapat terlihat pada posisi memainkan instrumen dan gaya musik. Pada kakula tradisi, pemian kakula sebagai pembawa melodi, duduk di atas kursi. Pada panggung proscenium pemain kakula kreasi biasanya duduk di lantai sebagai mana pemain gamelan Jawa bermain. Pengaruh gaya gamelan Bali juga terdapat pada kakula kreasi. Terutama gaya musik yang memainkan dinamika keras dan lembut.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kakula tradisi pada orang Kaili dan perkembangan selanjutnya yang disebut kakula kreasi, tidak dapat terlepas dari hubungannya dengan budaya gong yang lain di Kepulauan Asia Tenggara. Jadi, kalau orang Kaili menyebut bahwa kakula adalah musik “asli” mereka, maka bolehlah itu disebut perspektif lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar