Kamis, 14 Oktober 2010

MITOLOGI NGATA TORO

Etnogoni Komunitas Toro: Narasi, Struktur dan Signifikansi

Mitos, khususnya mitos asal-usul etnis (etnogoni), memiliki kedudukan yang
penting dalam suatu komunitas tradisional. Mitos semacam ini juga hidup di
tengah masyarakat Toro dan berperanan amat sentral bagi proses identifikasi
kelompok dan penumbuhan kesadaran akan kesatuan dan sekaligus perbedaan. Proses
identifikasi semacam ini merupakan hal yang amat signifikan bagi masyarakat Toro
yang multietnik ini, terutama untuk mereproduksikan tatanan sosial yang ada
kepada segenap anggota komunitas.
Dengan demikian, meskipun mitos mengisahkan kejadian-kejadian yang tidak biasa
ditemui di alam dunia ini, namun mitos bukanlah cerita kosong belaka. Sebab,
mitos merupakan unsur utama pembentuk “angan-angan sosial” (social imaginairé)
yang memberi identitas pada kelompok dan makna pada sejarahnya. Angan-angan
sosial tersebut terbangun “dari berbagai unsur sejarah nyata, realitas sosial,
dan lingkungan fisik kelompok yang bersangkutan, tetapi unsur-unsur itu
diungkapkan kembali menjadi berbagai citra, cerita dan nilai” (Arkoun 1994, 66;
penekanan dari MS). Suatu pernyataan mitis tentang kejadian masa lampau, dengan
begitu, berfungsi sebagai piagam bagi kehidupan masa kini: ia “mempunyai fungsi
menjelaskan, menunjukkan, mendirikan bagi kesadaran kolektif kelompok yang
mengukir suatu proyek tindakan bersejarah yang baru di dalam suatu kisah
pendirian” (Ibid. 250).

1. Narasi Mitos

Ada tiga mitos yang hidup di tengah masyarakat Toro yang menjelaskan asal-usul
dan identitas kolektif mereka dan yang secara tepat menciptakan piagam mitologis
bagi tindakan bersejarah pada masa kini. Dalam bahasa Kulawai Moma, kata “Toro”
secara harfiah berarti “sisa”. Pengertian ini mengacu pada suatu wilayah yang
sisa ditinggal pergi oleh penduduknya sehingga telah menjadi hutan belantara dan
bukan merupakan pemukiman lagi. Selain itu, juga mengacu kepada pelarian
sisa-sisa penduduk kampung Malino yang akhirnya menempati wilayah baru. Kedua
mitos ini saling berkaitan dan dirajut oleh mitos ketiga tentang kegiatan
berburu Balu yang melibatkan baik wilayah yang ditinggalkan tadi maupun kelompok
orang yang menyelamatkan diri dari Malino. Ketiga mitos ini secara bersama-sama
saling terjalin erat sebagai piagam mitologis dalam Kisah Pendirian suatu
komunitas.[1]

Berikut ini adalah narasi dari ketiga mitos yang hidup di tengah-tengah
masyarakat Toro. Struktur dan signifikansi dari mitos-mitos ini akan diuraikan
pada bagian berikutnya.

1.1. Mitos I: Kisah tentang Tempat

Mitos pertama ini mengisahkan tentang tempat/lokasi tertentu yang sekarang ini
membentuk desa Toro. Dalam mitos ini dikisahkan tentang riwayat tempat ini yang
semula didiami oleh orang Winatu, bencana banjir besar dan longsor yang terjadi
di tempat ini sehingga ditinggalkan dan disumpahi oleh penduduknya, sampai
perubahan lingkungan di tempat ini menjadi danau setelah terjadinya banjir besar
itu.

Konon, pada jaman dulu di tempat ini terdapat tiga pemukiman yang dihuni oleh
orang Winatu. Ketiganya berada di atas gunung yang saling berdekatan, yaitu di
Kaumuku, Pobailoa, dan Mungkulelio. Namun, ketiga pemukiman ini akhirnya hancur
dan penduduknya tercerai berai ketika terjadi bencana alam yang menenggelamkan
daerah tersebut.

Bencana alam ini berawal dari peristiwa perebutan tambur emas (karatu bulawa)
antara kakak-beradik Tina Reko dan Tuama I Ntoya. Tambur emas ini, yang diwarisi
dari orang tua mereka, dipergunakan sebagai salah satu perlengkapan upacara,
seperti pada waktu mengadakan upacara pesta panen (huhataro) ataupun upacara
ritual lainnya.

Tambur emas ini disimpan oleh Tina Reko sesuai dengan kebiasaan yang berlaku,
bahwa anak perempuanlah yang menyimpan peninggalan orang tua, apalagi kalau ia
anak yang tertua (sulung). Suatu ketika Tuama I Ntoya yang tinggal di Kaumuku
bermaksud mengadakan upacara huhataro sebagai perwujudan rasa syukur atas
keberhasilan panen mereka. Penduduk di Kaumuku telah mempersiapkan semua
kebutuhan pesta dan perlengkapan upacara. Tinggal satu peralatan upacara yang
harus ada, yaitu tambur emas.

Maka diutuslah seorang duta (huro) untuk pergi menemui Tina Reko di Pobailoa dan
mengambil tambur emas yang disimpannya. Sesampai di sana, masyarakat Pobailoa
ternyata sedang mengadakan upacara yang sama. Oleh karena itu, Tina Reko
menyuruh sang huro pulang kembali untuk memberitahu saudaranya bahwa tambur emas
belum bisa diambil karena masih dipakai.

Sang huro pun kembali ke Kaumuku dan melaporkan pada Tuama I Ntoya bahwa tambur
emas belum bisa diambil karena masih dipakai untuk upacara yang sama di
Pobailoa. Alangkah bingungnya Tuama I Ntoya karena para tamu yang diundang
mengikuti upacara huhataro telah banyak yang datang. Tuama I Ntoya akhirnya
memutuskan pergi sendiri menemui kakaknya dan membujuknya agar mau menyerahkan
tambur emas. Namun, permintaan ini ternyata tetap tidak dipenuhi oleh Tina Reko.

Tuama I Ntoya pun marah besar. Akhirnya, ia mencari hewan kucing dan memotong
kaki-kakinya. Padahal, kucing dianggap hewan keramat yang menurut kepercayaan
tidak boleh dimandikan, apalagi sampai diusik. Sebab, jika ada yang
mengganggunya, diyakini bakal ada bencana besar akan terjadi. Potongan kaki-kaki
kucing ini kemudian dipakai Tuama I Ntoya untuk menabuh tambur emas yang
tergantung di lobo dengan sekeras-kerasnya.

Tidak lama kemudian, menjelang sore hari, hujan tanpa disangka-sangka mendadak
turun dengan derasnya diiringi oleh angin ribut dan bunyi petir yang
meledak-ledak. Kegelapan pun meliputi pemukiman di Pobailoa, Mungkulelio dan
Kaumuku. Pohon-pohon mulai bertumbangan, sementara tanah pun mulai longsor. Hal
ini berlangsung selama tiga hari tiga malam.

Akhirnya ketiga desa ini hancur lebur dilanda bencana alam, dan menjadi sebuah
danau. Hanya segelintir orang yang berhasil selamat dari bencana itu. Mereka
yang tersisa akhirnya sepakat meninggalkan tempat ini karena pemukiman mereka
telah porak poranda, begitu pula dengan ladang dan sawah mereka. Mereka pun
pindah ke daerah Powatua di pegunungan sebelah barat yang lebih tinggi. Hal itu
disertai dengan sumpah serapah bahwa mereka berikut keturunannya kelak tidak
akan tinggal lagi di tempat ini karena mereka menganggapnya telah dijatuhi
kutukan.

1.2. Mitos II: Kisah Pelarian Orang Malino

Berbeda dari mitos pertama yang mengisahkan riwayat sebuah tempat, mitos kedua
merupakan kisah penduduk Malino yang terpaksa melarikan diri dari kampung
halamannya di Malino karena diserang oleh orang halus. Para pelarian dari Malino
inilah yang kelak menjadi penduduk asli Toro setelah menempati daerah yang telah
ditinggalkan orang Winatu ini.

Alkisah, penduduk kampung Malino sedang menjalani musim kerja memaras kebun.
Permainan anak-anak saat musim memaras kebun adalah bermain gasing. Pada suatu
hari, ketika orang tua pergi ke kebun, datanglah seorang anak makhluk halus
(bunian) dan turut bergabung bermain gasing. Anehnya, gasing yang dibawa terbuat
dari emas dan begitu juga talinya. Bahkan rambut anak itu juga berwarna kuning
keemasan. Kejadian aneh ini kembali berulang pada esok harinya.

Akhirnya anak-anak tadi bercerita pada orang tua mereka perihal keanehan yang
mereka jumpai. Pada hari ketiga, orang-orang tua pergi dari rumah seolah-olah
hendak memaras kebun seperti biasa. Padahal, mereka bersembunyi untuk
membuktikan apakah cerita anak-anak mereka benar atau tidak. Ketika menjelang
siang, seperti hari sebelumnya datanglah anak orang halus dan langsung bergabung
bermain gasing. Orang-orang tua yang sedang bersembunyi takjub melihat gasing
emas yang dibawa anak itu. Mereka akhirnya setuju untuk menangkap dan membunuh
anak orang halus itu guna mendapatkan gasing emas yang dibawanya.

Pada sore harinya tiba-tiba terdengar suara bergemuruh seperti orang sedang
berperang. Namun, tidak ada siapapun yang terlihat selain parang dan tombak yang
berseliweran menyerang. Sadarlah orang Malino bahwa makhluk halus telah datang
menyerang untuk menuntut balas atas kematian anaknya. Penduduk Malino tercerai
berai karena tidak mampu melawan para penyerang mereka yang tidak kelihatan.
Sebagian besar penduduk Malino terbunuh dan hanya 7 rumah tangga saja yang
akhirnya berhasil melarikan diri dan pergi mengungsi.

Mereka mula-mula mengungsi ke Balinggi (Parigi) dan tinggal di sini beberapa
lama hingga berkembang menjadi 11 rumah tangga. Dari sini mereka pergi ke Kulawi
melalui Tindaki, Paboya (Palu), Sigi (Bora) dan akhirnya tembus ke Namo melalui
sungai Miu. Dari Namo mereka menemui Maradika Kulawi yang bernama Balu untuk
meminta tempat tinggal. Balu kemudian menempatkan kesebelas rumah tangga ini
Kauawu yang masih berupa hutan. Para pelarian dari Malino ini lantas membuka
hutan tersebut dan membangun pemukiman dan lahan pertaniannya di situ.

1.3. Mitos III: Kisah Penguasaan Tempat

Mitos ketiga ini menuturkan aktivitas berburu Balu, seorang bangsawan Kulawi,
yang akhirnya membawa para pelarian dari Malino yang disebut pada mitos pertama
ke tempat yang telah ditinggalkan orang Winatu yang disebut pada mitos kedua.

Balu, Maradika Kulawi yang memerintah saat itu, dikenal sebagai orang yang gemar
berburu. Tidak puas dengan tempat yang sudah pernah didatanginya, ia pun pergi
menelajah ke gunung-gunung dan lembah-lembah baru untuk mencari tempat perburuan
yang lebih menantang. Akhirnya ia pun menemukan lembah yang amat subur karena
terbentuk dari danau yang telah surut. Tempat ini adalah bekas pemukiman orang
Winatu pada masa lampau yang ditinggalkan karena terjadi bencana alam yang
besar.

Balu yang merasa cocok denga tempat ini akhirnya menempatkan satu keluarga dari
Kulawi di Pakowo Kodi dengan maksud kalau sewaktu-waktu ia datang berburu ada
tempat untuk singgah dan menginap.

Sementara itu, pada saat yang sama, para pelarian Malino yang ditempatkan Balu
di Kauwau telah membuka pemukiman dan lahan pertanian sendiri. Dalam waktu
singkat, berkat kerja kerasnya, kehidupan pendatang ini telah sejahtera melebihi
penduduk asli di pemukiman lain di sekitarnya. Hal ini menimbulkan rasa iri pada
penduduk asli. Apalagi rumah tangga yang berasal dari Malino ini diketahui
memiliki simpanan emas yang mereka bawa dari kampung asal mereka.

Rasa iri ini mendorong penduduk asli mulai memaksa pendatang dari Malino untuk
membayar apa saja yang mereka ambil untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka: kayu
bakar yang mereka gunakan memasak, air yang mereka minum, sayuran yang mereka
petik, dan sebagainya. Dalam keadaan yang serba tertekan ini, akhirnya mereka
pun menghadap lagi kepada Balu untuk memohon kebijakannya.

Balu kemudian mengajak kesebelas rumah tangga Malino ini untuk pergi melihat
lokasi perburuannya. Setelah melihat-lihat keadaan di sana dan merasa cocok,
terjadi tawar menawar antara Balu dan sisa-sisa orang Malino yang dikepalai
Mpone. Dicapailah kesepakatan untuk membeli seluruh lembah dan gunung-gunung
yang ada di sekitarnya dengan harga tujuh emas sebesar burung pipit. lokasi
terjadinya kesepakatan jual beli itu Kelak di belakang hari tempat
berlangsungnya jual beli ini disebut Kaputua yang berarti tempat mencapai
keputusan.

Setelah transaksi, para pelarian Malino kemudian tinggal di tempat ini dan
berkembang kian banyak. Lama kelamaan tempat ini dikenal dengan nama “Toro”
karena didiami pelarian sisa-sisa orang dari Malino.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar