Rabu, 02 Juni 2010

SEMIOTIKA DALAM TEATER

DARI SEMIOTIKA SASTRA KE SEMIOTIKA TEATER

Harus diakui bahwa semiotika termasuk salah satu pendekatan yang diminati oleh berbagai ahli seni saat ini, yaitu : teater, tari, film,desain,lukis, dan sebagainya.

Sedangkan dalam dunia sastra semiotika telah lama diminati dan berkembang dalam variannya masing-masing.

Secara etimologi semiotika berasal dari yunani yaitu semeion, yang berarti tanda. Tanda itu sendiri membentang di kehidupan kita,seperti halnya pada gerak isyarat,lampu lalu lintas,sesaji dalam upacara pernikahan,dan sebagainya.

Istilah semiotika memang belum lama kita kenal, mungkin baru dua dasa warsa terakhir atau mungkin kurang dari itu. Semiotika sendiri adalah suatu pemahaman mengenai realistis,sedangkan fenomena semiatika(semiosis) adalah realitas itu sendiri.

Secara sederhana semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang tanda dan sistem tanda. Aart van Zoest menyebutkan semiotika adalah studi tentang tanda dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tanda dan cara fungsinya, seperti:hubungan dengan tanda-tanda,pengiriman dan penerimaan.

Adapula yang mengatakan semiotika adalah ilmu secara sistimatik yang mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang,dan proses perlambangan. Keir Elam ahli teater mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang dipersembahkan khusus ke studi produksi makna dalam masyarakat. Lebih jauh Elam menambahkan bahwa obyek-obyek semiotika adalah kode-kode dan sistem-sistem tanda yang beropeasi di masyarakat, pesan-pesan yang aktual dan teks-teks yang diproduksi dengan cara demikian.

Definisi-definisi tersebut menjadi kompleks ketika muncul tuntutan untuk mendefinisikan apa yang disebut dengan tanda, kesulitan membangun kesepakatan tentang mendefinisikan bisa mempersulit definisi tentang tanda.

Idealnya, semiotika adalah suatu ilmu yang multidisipliner yang akurasi karakteristik-karakteristik metodologinya bervariasi.

Setidaknya ada dua kemungkina faktor yang menyebabkan kesulitan itu.

1. obyek semiotika.

Obyek semiotika adalah tanda, dan itu teramat luas karena terdiri dari satuan-satuan realitas yag beraneka ragam.

1. ruang lingkup

karena dalam ruang lingkup semiotika yang luas, semiotika selalu bersentuhan dengan banyak disiplin ilmu yang lain yang sudah mapan sehingga harus terus-menerus mencoba menentukan batas-batas dirinya, baik obyek maupun cara kerjanya.

A. PELOPOR SEMIOTIKA

Dari sekian banyak ahli semiotika setidaknya ada dua ahli yang pantas disebut pelopor semiotika modern, yaitu : Charles Sander Pierce dari US(1834-1914) dan Ferdinand de Saussure dari Swiss (1857-1913). Kedua tokoh tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda walaupun mereka hidup dijaman yang sama. Menurut pierce penalaran dilakukan melalui tanda oleh sebab itu ia meletakkan logika sebagai dasar semiotika , badinya semiotika adalah sinonimdari logika. Dan pierce pun menambahkan bahwa semiotika adalah ilmu yang dapat disesuaikan dan dimasukkan dalam hal apa saja, ia tidak menganggap salah satu ilmu lebih penting dari yang lain dalam kaitannya semiotika.

Sedangkan Ferdinand dari Swiss beranggapan bahwa bahasa adalah ilmu penciptaan yang paling lengkap, Ferdinand memulai menyusun ilmu tanda dengan memberi dasar-dasar teori ilmu bahasa. Sekalipun demikian, ia juga telah meramalkan bahwa suatu saat akan berkembang ilmu baru yang disebut semiologi (semiotika). Gagasan Ferdinand saat ini telah mengubah arah pendekatan ilmu bahasa tidak ditekankan pada sejarah namun pada hubungan antara unsur-unsurnya.

Sejak strukturalisme berkembang diEropa, studi sastra pun mengalami perkembangan yang lebih menekankan pada penelitian kebahasaaan. Pada awal strukturalisme muncul kaum formalis dari rusia yang ingin membebaskan studi sastra dari pengaruh ilmu-ilmu yang lain. Karya sastra mereka anggap sebagai sesuatu yang otonom, tidak berhubungan dengan kenyataan.

Dalam perkembangannya kaum strukturalisme menganggap kesatuan makna yang menyeluruh sangat penting (keutuhan). Namun otonomi karya tetap dipertahankan.pekembangan berikutnya mereka mulai terbuka terhadap hal diluar karya sastra. Tokoh-tokoh yang menjadi pelopor perkembangan diatas ada Ronald Barthes,Julia Kristeva,Michael Rifaterre.

Secara umum para ahli diatas memulai penelitian dengan strukturalisme, tetapi karena mengalami perkembangan teori-teori mereka masuk dalam kategori semiotika.

1. Pemikiran Semiotika C. Sanders Pierce.

C. Sanders Pierce seorang warga kebangsaan USA mengatakan bahwa tanda adalah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Menurut Pierce tanda mengacu kepada sesuatu yang disebut dengan obyek.yang disebut dengan mengacu adalah :mewakili” atau “menggantikan”. Pierce menambahkan tanda harus dapat ditangakap agar dapat berfungsi,namun tanda hanya bisa berfungsi bila ada dasarnya (ground).

Hubungan tiga unsur tanda (obyek,ground,interprentant) disebut hubungan triadik atau segetiga pembuka. Tanda memang bersifat transindivudual hingga mampu dipahami oleh banyak orang, namun ada tanda yang bersifat individual, sehingga berfungsi setelah diinterpretasi.

Pierce membagi menjadi tiga hubungan antara tanda dengan acuannya yang berbeda. Yaitu : ikon, indeks, simbol.

a. Ikon

ikon adalah suatu tanda yang acuan dengan hubungannya memiliki kemiripan. Dalam ikon pierce membagi menjadi tiga, yaitu : ikon tipologis,yakni tanda yang acuan dengan penghubungnya memiliki kemiripan. Contoh : peta, sketsa,globe. Ikon diadramatik, yakni tanda yang memiliki kemiripan rasional. Contoh : dalam sebuah pagelaran kesenian daerah , tempat duduk sudah diatur menurut stasus sosial. Dan ikon metaforsi, yakni tanda yang sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan acuannya melainkan dua acuan yang diacu oleh tanda yang sama. Contoh : dalam cerita anak si kancil, tanda “ kancil mengacu binatang kancil (sebagai acuan langsung), kemudian manusia (acuan tidak langsung) namun diantara kedua acuan ini terdapat ciri yang sama yaitu sifat cerdik.

b. Indeks

indeks adalah tanda yang dengan acuannya memiliki kelekatan esksistensi .Contoh, hari mendung menjadi tanda hujan. Gambaran suasana yang muram dalam pementasan wayang merupakan indeks tokoh sedang bersedih.

c. Simbol

simbol adalah sebuah tanda yanghubungan dengan acuannya terbentuk secara konvensional. Jadi suda ada persetujuan antara pemakai tanda tentang hubungan tanda dengan acuannya,. Misalnya, peristiwa jabat tangan, rambu lalu lintas, dan lain sebagainya.

2. Pemikiran semiotika Ferdinand de Saussure

Ferdinand mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Kekhasan dari teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda. Ferdinand menambahkan bahwa teori tentang tanda linguistik perlu menemukan tempatnya dalam sebuah teori yang lebih umum.

Berbeda dengan konsep Pierce, teori Ferdinand tidak mengenal “obyek tanda”. Yang ada hanyalah sejenis “reprentamen” dan “interpretan” atau yang disebut: penanda (signifiant) dan petanda (signifie). Menurut Ferdinand tanda merupakan kesatuan yang tak terpisahkan antara penanda dan petanda.

“Penanda” didefinisikan sebagai citra bunyi dalam konteks bahasa dan budaya lisan, sedangkan “Petanda” sebagai konsep. Hubungan antara penanda dengan pertanda bersifat arbitrer (mana suka). Misal, kita tidak tahu kenapa benda yang disebut “ meja” dalam bahasa indonesia, “table” dalam bahasa inggris, jadi tidak ada motif yang menhubungkan antara kedua sebutan tersebut. Yang menghubungkan antara penanda dengan petanda adalah sistem tandasebuah fenomena semiotika yang menjadi obyek penelitian semiotika merupakan sistem atau kode yand disebut langue yang dipertentangkan dengan aktualisasinya yang disebut parole. Parole merupakan keseluruhan yang diujarkan orang termasuk kontruksi-kontruksi individu yang muncul dari pilihan individu. Jadi parole adalah manifestasi individu bukan fakta sosial, karena seluruhnya merupakan hasil individu secara sadar, sedangkan langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif atau yang diterapkan oleh masyarakat bahasa. Sistem tanda ini bersifat tetap, invarian,statis sehingga untuk memahaminya harus dibedakan antara sinkroni dengan diakroni.

Dengan menganggap obyek semiotika sebagai sistem tanda, Ferdinand menempatkan obyek itu sebagai terbangun dari elemen-elemen tertentu yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Hubungan antar elemen itu disebut dengan struktur. Ferdinand melihat elemen- elemen sistem tanda terbangun dari dua struktur. Yaitu hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik. Bagi Ferdinand hubungan struktural yang paling mendasar adalah oposisi antar elemen yang memungkinkan terbedakannya elemen yang satu dengan yang lain.

B. ALIRAN-ALIRAN SEMIOTIKA

hasil pemikiran dari Pierce dan Ferdinand ini pada akhirnya menandai adanya dua acuan penting dalam semiotika. Dalam hal ini kedua aliran tersebut akan dibahas lebih lanjut, sebab kelak akan lebih dekat hubungan dengan semiotika drama dan teater. Pada kedua aliran tersebut dibagi menjadi tiga, yakni : semiotika komunikasi, semiotika konotatif, dan semiotika ekspansif.

˛ Semiotika komunikasi : tanda hanya dianggap tanda sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengirim dan penerima. Contoh : rambu lalu lintas, sengaja dibuat oleh DLLAJR, tanda tersebut dibuat dengan maksud agar para pengguna jalan menerima dan menginterprestasikan.. dalam hal ini pengirim dan penerima tidak pernah salah paham, apabila model penanda semacam ini digunakan untuk melihat bahasa, maka kita biasanya akan memfokuskan diri dalam pengertian denotatif. Misalkan, saat kita berkata “ bajumu bagus sekali” menurut aliran semiotika komunikasi pernyataan tersebut menunjukan baju yang bagus, bukan yang lain. Aliran ini banyak diminati oleh para ahli yang mempelajari tanda sebagai bagian dari proses kominukasi. Tokoh yang mengikuti alian komunikasi ini adalah : Buyssens, Prieto dan Mounin.

˛ Semiotika konitatif : berbeda dengan komunikasi yang mengacu pada arti denotatif, pada aliran ini mempelajari masalah-masalah tanda disengaja dan konotasi dengan ari tambahan atau arti kedua yang dikenakan terhadap sebuah kata, frase, dan kalimat. Roland Barthes banyak menerapkan pendekatan ini dalam karya sastra. Malah Barthes tidak hanya membatasi diri pada analisis semiotis, tetapi juga menerapkan pendekatan konotatif, pada berbagai gejala dimasyarakat.

˛ Semiotika ekspansif : dalam aliran ini ‘ tanda’ telah kehilangan tempat sentralnya. Tempat itu telah diduduki oleh pengertian produksi arti. Penelitian yang statis terhadap sebuah tanda diganti menjadi penelitian yang disebut oleh para penganut aliran ini sebagai penelitian praktik arti. Para penganut aliran ini memadukan analisis mereka dengan pengertian yang cukup berhasil pada zaman itu yaitu : psikoanalisis dan marxisme. Aliran ini dekimbangkan oleh Julia Kristeva

Secara kasar demikian lah ketiga aliran dalam semiotika,namun sebenarnya masih ada pemikir semiotika yang menunjukan kecenderungan tersendiri.Roman Jakobson, pada awal abad ke 20 pemikirannya sangat ber[engaruh dalam dunia sastra, khususnya yang terkait pada bahasa. Jakobson membedakan menjadi 6 dalam fungsi komunikasi, yakni : emotive,referential,poetic,phatic,metalingual, dan conative.

Fungsi phatic adalah fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Metalingual merupakan fungsi khas yang memungkinkan kita berbicara tentang bahasa dalam bahasa itu sendiri. Sementara fungsi poetic lebih dominan untuk membicarakan bahasa dalam puisi.Keenam fungsi komunikasi ini dipakai untuk menganalisa ungkapan-ungkapan bahasa.

C. PEMIKIRAN AWAL SEMIOTIKA TEATER

1. Formalisme Rusia

Pada awal abad ke 20, di Rusia muncul minat yang besar terhadap penelitian sastra secara struktural. Mereka biasa disebut sebagai kaum Formalis, pada awalnya para kaum formalis ingin membebaskan karya sastra dari belenggu ilmu-ilmu yang lain, seperti: psikologis,sejarah, kebudayaan dan lain-lain. Karya sastra dipandag sebagai tanda, lepas dari fungsi referensial atau mimetiknya. Karya sastra menjadi tanda yang otonom, sehingga hubungan dengan kenyataan secara tidak langsung. Menurut kaum Formalis aspek bahasa tertentu secara dominan menentukan ciri khas hasil sastra itu seperti rima,matra, dan aspek-aspek lain.

Aliran formalis cepat berkembang ke arah strukturalis.karya sastra sebagai struktur menjadi sasaran utama namun para kaum formalis tidak membatasi studi pada puisi yang pada awalnya menjadi kajian mereka, tetapi mulai merambah pada cerita pendek. Dari penelitian mereka mengembangkan oposisi antara fabel dan plot. Yang menjadi pusat perhatian kaum Formalis mengenai sastra ialah pengertian pengasingan (alenasi).

Menurut Shlovsky istilah pengasingan sebuah karya sastra terjadi apabila memakai gaya bahasa yan menonjol atau menyimpang dari yang lama atau mempergunakan teknik bercerita yang baru.

Para praktisi teater menyebutkan teori dan praktik Bertolt Brecht telah memberi gambaran yang jelas konsep kaum Formalis tentang making strange (membuat asing atau membuat alenasi). Didalam konsep Brecht tentang strategi untuk menciptakan suatu efek alenasi dalam diri aktor dan penonton diturunkan langsung oleh para kaum Formalis tentang making strange, yaitu suatu representasi memungkinkan kita untuk mengakui subyek, namun pada saat yang bersamaan membuat tampak tak familiar

2. TOKOH-TOKOH SEMIOTIKA TEATER

Pemikiran paling berpengaruh terhadap lahirnya pendekatan semiotika teater adalah teori salah seorang tokoh strukturalis bernama A.J. Greimas dengan konsep tentang skema aktan yang digunakan untuk mengidentifikasi cerita rakyat. Dalam konsep Greimas dapat diaplikasikansecara luas dalam rangkaian studi semiotika terhadap teks-teks drama.

Melalui pendekatan ini dapat dilihat elemen-elemen yang terlibat dalam penulisan naskah drama, dan sekaligus makna yang tercipta dalam konteks pertunjukan.

Dengan latar belakan pemikiran tersebut, maka pada abad ke 20 muncullah konsep teater sebagai sistem tanda. Kemudian kelompok strukturalis dari Praha mengaplikasikan teori semiotika ke semua jenis aktivitas yang berdimensi artistik.

Perhatian dicurahkan pada beberapa bentuk teater, seperti teater rakyat dan teater cina sebagai upaya memetakan masalah-masalah dan bidang-bidang penelitian yang bersifat fundamental. Perhatian kelompok ini mengacu pada semiotika teks drama maupun pementasannya, dan hubungan keduanya. J. Veltrusky mencoba memetakan realasi antara unsur linguistik teks drama dan sistem tanda pertunjukan. Dalam memahami komponen-komponen teater maka Veltrusky menetapkan bahwa segala sesuatu yang ada dalam kerangka teater adalah tanda. Dalam artian bahwa setiap obyek yang ada di atas panggung mendapat arti yang lebih penting daripada didalam kehidupan sehari-hari. Honzl menambahkan “sifat yang mudah berubah” menunjukan bahwa dalam seni panggung begitu beragam baik itu kapasitas hingga keperubahan yang telah diidentifikasi pun masih sukar untuk dimengerti. Dalam teater khususnya, telaah semiotika awalnya dilakukan oleh para kelompok Praha yang mengarah pada usaha mengidentifikasi tanda-tanda dalam kerangka pertunjukan.

D. TUJUAN DAN RUANG LINGKUP SEMIOTIKA TEATER.

Tujuan mempelajari semiotika teater adalah untuk melihat “bagaimana” makna ditetapkan melalui elemen-elemen yang terlibat dalam teks drama dan “bagaimana “ makna diciptakan didalam suatu konteks pertunjukan.

Menurut Aston & Savona semiotika memiliki implikasi-implikasi yang jelas untuk studi drama dan teater, dengan maksud semiotika memungkinkan investigasi terhadap teks drama secara struktural, semiotika didalam teater juga dipakai untuk menganalisa bahasa,wacana bahasa-bahasa,fisik didalam setiap teks drama.

Sedangkan penyebutan drama dan teater sudah memiliki arti yang berbeda. Istilah teater adalah fenomena dimana adanya hubungan antara performer dan audiens, yakni berhubungan dengan produksi dan komunikasi makna dalam pertunjukan itu sendiri. Sedangkan istilah drama lebih pada karya fiksi yang didesain untuk representasi panggung dengan konvensi-konvensi drama yang spesifik. Dengan kata lain lingkup kerja semiotikawan teater ada 2 yaitu : teks drama (tertulis) dan teks pertunjukan (pertunjukan teater), ruang lingkup ini berbeda dengan semiotikawan sastra yang hanya mengacu pada teks tertulis saja.

1. Tanda dan Sistem tanda

Pada awalnya strukturalisme Praha berkembang dibawah pengaruh Formalisme Rusia dan faham linguistik dari struktural Sassure. Oleh karena itu tidak heran apabila pada awal karya dari para semiotikawan itu bertautan dengan masalah indetifikasi dan deskripsi tanda teater dan fungsi tanda.

Teks pertunjukan dianggap sebagai suatu tanda makro yang harus dibagi lagi menjadi unit-unit yang lebih kecil sebelum dimulai tahap analisa.. jadi pertunjukan teater buikanlah pertunjukan tunggal namun sebagai jaringan-jaringan semiotika yang didalamnya terdapat sistem-sistem yang saling bekerja sama.

Didalam teater, segala sesuatu yang memainkan peran adalah tanda-tanda teater, dan memperoleh karakteristik-karakteristik, sifat, dan atribut didalam kehidupan nyata.

Pemikiran kelompok praha sering disebut sebagai proses semiotika obyek. Diatas panggung fungsi-fungsi praktis fenomena yang memungkinkan mendukung suatu peran simbolik ikut berpartisipasi didalam drama, namun dikehidupan nyata fungsi suatu obyek biasanya lebih penting daripada signifikansinya.

Proses semiotisasi dipanggung menjadi penting karena ada kaitannya dengan aktor dan atribut fisiknya, seperti kata Veltrusky bahwa pada dasarnya aktor adala unitas dinamik sekumpulan utuh tanda-tanda.

2. Tipologi Tanda

Salah seorang dari faham struktural Kowzan pada tahun 1968 melalui artikel yang berjudul “ the sign in theatre” mencoba mengembalikan pinsip dari kelompok praha, terutama tentang semiotisasi obyek, sehingg ia berpendapat bahwa segala sesuatu yang representasi teater adalah tanda. Kowzan juga menkontruksi suatu tipologi awal tentang tanda teater dan sistem tanda.

Kowzan membedakan tanda menjadi dua yakni : tanda natural dan tanda artifisial. Perbedaan kedua tanda terletak pada presensi atau absensi motivasi. Tanda natural diidentifikasi antara signifier dan signified yang dipersatukan oleh sebuah hubungan sebab akibat langsung seperti halnya pada contoh, sebuah asap menandakan adanya api. Sementara itu tanda artifisial tergantung pada intervensi kehendak.

Trikotomi fungsi tanda dari Pierce yang mencakup ikon, indeks, dan simbol sangat sugestif dan bekorenspondensi secara efektif dengan pemikiran kita bahkan kadang tidak kritis dalam berbagai bidang, terutama teater. Definisi Pierce tentang ketiga fungsi tanda masih bisa bervariasi tergantung pada konteks mana ketiganya terjadi.

Ikon dalam teater sering diasosiasikan tanda –tanda visual, karena keduanya memiliki kedekatan eksistensi. Patrick Pavis seorang semiotikawan dari pranci mengatakan bahwa didalam bahasa aktor mengalami ikonisasi apabila diucapkan ooleh aktor dan menjadi representasi sesuatu yang diduga ekwivalen dengannya.

Ketiga fungsi tanda menurut Pierce adalah fungsi-fungsi bukan entitas-entitas yang berlainan. Misalkan kostum bisa menjadi ikon ketika mendenotasikan mode pakaian yang dikenakan pemain. Namun bisa menjadi indeks yang menunjukan profesi pemeran. Sementara simbol dalam teater memiliki signifikansi secara esensial, karean didalam pertunjukan teater adalah peristiwa simbolik, dengan maksud audiens memandang peristiwa yang terjadi diatas panggung biasanya “menunjuk” ke sesuatu hal selain peristiwa-peristiwa itu sendiri dengan konvensi yang berlaku dikomunitas masyarakat.

Dengan kata lain fungsi-fungsi dari ikon,indeks,simbol dipanggung memiliki presensi yang sama.

ABSURDISME DALAM NASKAH KURA-KURA DAN BEKICOT

Kesan pertama yang menonjol setelah menonton teater Delire A Deux (Kura-Kura dan Bekicot) karya Ionesco, saduran Darnoto, sutradara Kurniasih Zaitun, di gedung pertunjukan Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang, pada tanggal 15 April 2005 adalah suara-suara perang (bom, rentetan bunyi senapan, dan bentakan orang-orang di belakang panggung). Suara tersebut seakan memecah kebekuan kalimat absurd yang dilontarkan tokoh Lelaki (Jamal) dan tokoh Perempuan (Ayu) yang masing-masing memiliki kebenaran dan kesalahan sendiri-sendiri. Tidak ada yang salah di antara keduanya dan tidak ada yang benar di antara keduanya, dan juga tidak ada penyelesaian. Semua masalah berseliweran satu sama lain menjadi ikon-ikon persoalan tanpa kesimpulan. Kesimpulan merupakan hak sepenuhnya dari penonton yang menyaksikan. Hal ini merupakan ciri dari teater absurd Ionesco, Samuel Becket, Albert Camus, Sartre, dan lain-lain. Tidak ada yang digurui dan tidak ada yang menggurui. Penonton merupakan penikmat aktif dari peristiwa-peristiwa yang hadir di atas panggung.

Peristiwa dimulai dengan bunyi bom dan rentetan senapan mesin yang keluar dari keyboard yang diolah Darminta lewat sound syestem yang berkekuatan tinggi. Dua tokoh (Lelaki dan Perempuan) yang berprilaku kura-kura dan bekicot mulai menggeliatkan badannya merespon bunyi tersebut. Keduanya seperti tertekan oleh kondisi perang yang hadir dalam ruang-ruang ketakutan. Saat bunyi peperangan menghilang keduanya selalu bertengkar tentang kebenaran masing-masing. Hanya suara bom dan rentetetan senapan mesin yang menyatukan mereka dalam ketakutan. Lalu bertengkar lagi, menyatu lagi dalam ketakutan, bertengkar lagi, begitu seterusnya tanpa ada yang terselesaikan.

Pertunjukan yang berdurasi sekitar 70 menit ini mencoba memberdayakan ikon-ikon dari properti yang digunakan. Baskon dan tutup nasi dimultifungsikan semaksimal mungkin membentuk makna-makna tertentu. Ketika makna satu muncul dari properti yang digunakan kemudian dihancurkan oleh makna-makna lain. Penghancuran ikon ini merupakan gejala dekonstruktif yang menjadi ciri dari pertunjukan ini. Untuk bisa menuju pada penghancuran ikon, kedua tokoh harus memaksimalkan pola akting dengan konsep atraktif dari Mayerhold. Ini bisa dilihat dari brosur yang diberikan kepada penonton bahwa seorang aktor harus bisa melakukan kegiatan di atas pentas yang berbeda dengan kegitatan sehari-hari. Teatrikalisme merupakan kehidupan distilisasi (digayakan) dan bahkan dirusak (didistorsi) untuk tujuan-tujuan teater.

Keinginan dari naskah Ionesco adalah persoalan ketegangan pikiran yang mengacu pada absurdisme. Lakon absurd diistilahkan oleh Esslin (dikutip dari Bakdi Soemanto) sebagai pure theatre yang ciri-ciri aktingnya seperti yang terdapat dalam pertunjukan sirkus, akrobat, dan sebagainya. Gerakan pemain dalam pertunjukan absurd tidak mempunyai makna, walaupun mempunyai fungsi tertentu. Gerakan mereka berbeda dengan gerakan penari yang merupakan simbol-simbol. Dengan kata lain, gerakan itu tidak mempunyai acuan di luar gerakan itu sendiri. Akan tetapi dalam pertunjukan ini ada sedikit penyimpangan dalam mengolah gerak para tokoh dari gerak yang diinginkan absurdisme. Gerak terlalu tertata (rapi) bahkan hampir menyerupai gerak tari kontemporer, terutama gerak dari tokoh Perempuan.

Ionesco seperti yang dikutip oleh Styan pernah mengatakan bahwa dalam lakon absurd, tokoh-tokohnya tampil sebagai characters without character. Tokoh tanpa watak yang sebenarnya suatu wujud transformasi dari peristiwa sehari-hari yang tidak banyak disadari orang. Banyak kalimat-kalimat konyol yang dilontarkan oleh kedua tokoh yang menurut pemikiran logis tidak akan pernah diucapkan oleh manusia seperti apa adanya. Kalimat-kalimat tersebut hanya diucapkan oleh manusia sakit (gila) atau manusia yang tidak menyadari bahwa dirinya manusia (hilang kesadaran).

Absurdisme Delire A Deux karya Ionesco berkaitan erat dengan pandangan filsafat eksistensialisme yang mengajarkan bahwa yang paling nyata dan konkret hanyalah eksistensi yang bersifat individual atau hanya yang pernah dialami yang bisa disebut kenyataan. Kedua tokoh (Lelaki dan Perempuan) berada dalam suatu ruang (space) dimana lokasi fisik atau raga berada disuatu tempat diantara lokasi perang dua kelompok yang bertikai. Mereka tidak bisa keluar dari kenyataan tersebut. Gambaran peperangan kedua kelompok yang bertikai seperti gambaran kedua tokoh yang selalu bertengkar. Anehnya adalah ketika suara bom dan rentetan senapan yang menandakan peperangan kedua kelompok saat itu pula kedua tokoh menyatu. Sedangkan saat bunyi peperangan hilang saat itu pula pertengkaran kedua tokoh semakin menjadi. Di sini terlihat bahwa tidak akan pernah hidup itu damai. Perang bisa membuat meraka menyatu dalam ketakutan, akan tetapi pada saat kedamaian muncul, muncul pertengkaran keluarga. Lalu kapan ada kedamaian? Menurut pemikiran absurd kedamaian tidak akan pernah terjadi.

Ketidakberdayaan kedua tokoh merupakan ciri lakon absurd. Banyaknya percobaan nuklir, perang terus menerus, pembunuhan massal akibat perang dunia yang disaksikan oleh Ionesco yang lahir tahun 1912 menjadi inspirasi kreatif. Manusia berhadapan dengan tindakan-tindakan mengerikan tanpa bisa keluar dari kenyataan tersebut. Permenungan Ionesco tentang kehadiran manusia merupakan reaksi dari kondisi manusia itu sendiri yang nyata, tidak hanya lewat spekulasi pikiran.

Alur bagi lakon Delire A Deux tidak begitu penting, yang penting adalah masalah atau peristiwa-peristiwa yang diulang-ulang. Pengulangan tanpa makna seperti yang ditulis Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus juga merupakan ciri lakon absurd. Hal ini sangat berbeda dengan lakon-lakon lain seperti realisme dan sebagainya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar