Monolog
NYANYIAN ANGSA*)
SKENE INI TERJADI DI ATAS SEBUAH TEATER DAERAH. MALAM HARI SETELAH PEMENTASAN. SI SEBELAH KANAN KEADAANNYA TIDAK TERATUR DAN ADA PINTU USANG TAK BERCAT KE KAMAR-KAMAR PAKAIAN. DI SEBELAH KIRI DAN LATAR BELAKANG PENTAS DISERAKI OLEH BERMACAM-MACAM BARANG USANG. DI BAGIAN TENGAH ADA SEBUAH KURSI POLOS TERJUNGKIR.
ya, ya ini gila sekali! Sungguh ini lelucon yang sangat bagus. Aku jatuh dari kamar pakaian setelah pementasan habis, dan di situ aku dengan tenang ngorok setelah semua orang meninggalkan gedung teater ini. Ah! Aku memang orang tua yang tolol, si tua yang sialan! Kiranya aku telah minum lagi sehingga aku tertidur di dalam sana, tergeletak. Sungguh pintar! Selamatlah kau pemuda gaek!
(memanggil)
Yeghorka! Petruskha! Di mana engkau setan, Petruska? Kedua bajingan itu tentulah sudah tidur, dan meskipun gempa tak akan bisa membangunkan mereka sekarang!
Yekhorka
(mengambil kursi polos, lalu duduk setelah meletakkan lilin di atas lantai)
tak ada suara! Hanya gema yang menyahutku.
Aku beri yegorkha dan petruskha persen setiap hari dan mereka telah hembus dan mungkin sekali telah mengunci gedung teater ini.
(menggoyang-goyangkan kepalanya).
Aku mabuk.
Ugh, pementasan malam ini sungguh menggembirakan, dan alangkah gilanya jika dipikir. Berapa banyak bir dan anggur yang telah kutuang ke dalam tenggorokan untuk menghormati peristiwa ini. Luar biasa! Rasanya tubuhku ikut tenggelam seluruhnya dan kurasa ada dua puluh macam lidah didalam mulutku. Sungguh gila! Tolol sekali! Si jahanam yang malang dan gaek ini telah mabuk lagi dan tidak tahu apa sebenarnya yang dia Tuhankan! Ugh kepalaku remuk, seluruh tubuhku menggeletar dan aku m,erasa dingin serta gelap bagaikan dalam kolong bawah tanah. Bahkan jika aku tidk lupa hancurnya kesehatanku, seharusnyalah aku ingat umurku. Betul-betul si gaek yang tolol aku ini. Yah! Umurku yang telah tua, tak ada gunanya lagi. dan aku yang berlaku dengan tolol, pongah, dan pura-pura muda padahal hidupku sekarang telah usai. Kuciumi juga tanganku yang telah enampuluh depalan tahun berlalu dan tak mungkin kulihat kembali. Aku kosongkan botol itu. Hanya tinggal beberapa tetes lagi di dasar, itupun cuma kerak-kerak. Ya, ya demikianlah halnya, Vasili, pemuda gaek. Waktu telah tiba bagimu untuk meltih peranan sebagai orang mati, suka atau tidak. Kematian kini sedang diperjalanan menujumu
(melotot ke atas)
Aneh sekali, meskipun aku telah berada di pentas 40 tahun selama ini, baru kali pertama inilah aku menyaksikan gedung teater ini malam hari, setelah lampu-lampu dipadamkan. Untuk kali pertama!
(berjalan bangkit ke arah lampu kaki)
Alangkah gelapnya di sini. Aku tak dapat melihat apa-apa. Oh ya, aku dapat melihat lubang sipembisik dan mejanya, terbaring di dalam liang yang gelap, hitam tak berdasar, macam kuburan dimana maut mungkin sedang bersembunyi. Brrrrr …….. betapa dinginnya ini. Angin berhembus dari tetater kosong ini seperti keluar dari terowongan batu. Ini tempat hantu! Tengkukku jadi begidik (menggigil). Yegorkha! Petruskha! Dimana kalian berdua? Apa yang menyebabkan aku merasa benda-benda yang ada di sekitarku menyeramkan? Aku semestinya diberi minuman, aku seorang tua. Aku tidak akan hidup lebih lama lagi. pada usia 68 orang pergi ke tempat beribadah, dan bersiap-siap untuk kematian. Tetapi aku di sini. Ya tuhan! Anak yatim tua ini mabuk dalam pakaian tololnya.
Kalau dipikir-pikir, mereka menyeruku 16 kali. Mereka memberiku tiga bungkus bunga dan banyak lagi benda-benda yang lain. Antusias mereka sudah melonjak-lonjak.Namun tiada sebuah hatipun datang setelah pementasan selesai, untuk membangunkan orang tua yang malang ini dan membawanya pulang ke rumah. Dan aku, akulah… orang tua itu. Usiaku telah 68,sakit-sakitan lagi, dan aku tak punya harapan lagi untuk hidup.
Pulang…..?
Aku tak mau pulang. Aku tak punya rumah. Tidak! Tidak! Tidak!
Aku tak mau kesana, aku tak mau! Aku cuma sendirian di sana. Aku tak punya keluarga. Nikituskha! Tak punya istri, tak punya anak. Aku seperti angin yang berhembus melintasi padang-padang yang sepi. Aku akan mati dan tak seorangpun akan mengikuti. "Sungguh mengerikan kesendirian ini.Tak ada yang membahagiakanku, tak ada yang mengasihiku. Tak ada yang mau menolong aku ketempat tidur kalau aku mabuk. Punya siapakah aku ini? Siapa yang membutuhkan aku? Dan siapakah yang mencintai aku? Tak sebuah hatipun.
Penonton?
Penonton sudah pulang. Mereka semua sudah tidur dan melupakan si badut tuanya. Tidak seorangpun membutuhkan aku, tak ada yang mencintaiku. Aku tak punya istri dan tak punya anak.
Tetapi aku seorang laki-laki dan masih hidup segar. Darah masih terus mengalir dalam nadiku, darah warisan bangsawan. Aku seorang Aristokrat Nikithuskha! Aku telah mengabdi dalam ketentaraan dibagian artileri sebelum jatuh aku jatuh hina. Betapa gagahnya aku sewaktu muda. Tampan gagah dan berani! Kemanakah itu semua pergi? Apa jadinya itu semua dimasa tua? Tentulah ada liang yang telah menelan itu semua! Aku mengenang itu semua sekarang. “Telah 45 tahun hidupku tenggelam disitu. Hidup apa itu?Aku dapat melihatnya dengan jelas seperti melihat wajah Petruskha : lelaki yang riang , bersemangat, gairah pujaan wanita. Wanita Nikituskha!
Ketika baru-baru aku naik ke pentas, semasih gairah remaja bergejolak, aku ingat seorang wanita yang jatuh cinta karena aktingku. Dia sangat cantik, tinggi semampai, muda, suci, tak bercela, berseri-seri laksana fajar musim panas. Semuanya dapat tembus menyinari kegelapan malam.
Masih kuingat sekali ketika aku berdiri di depannya seperti sekarang aku berdiri didepanmu.Dia kelihatan begitu mencintaiku, tidak seperti kenyataan kemudian. Berkatalah ia kepadaku supaya memandang dengan pandangan demikian! Pandangan yang tidak dapat kulupakan, tidak bahkan sampai kekubur seklipun. Begitu kasih, begitu lembut, begitu dalam, begitu bersinar ceria! "Dengan sangat riang mabuk kepayang, aku berlutut di hadapannya. Lalu aku mohon demi kebahagiaan, dan berkatalah ia: " tinggalkan pentas".
Kau mengerti? Dia dapat mencintai akting. Tetapi, buat mengawininya tidak! Aku sedang berlakon pada suatu ketika. Ya, aku ingat, aku berperan sebagai badut yang tolol. Setelah berlakon aku merasa mataku jadi terbuka karena melihat apa yang pernah kuanggap pemujaan kepada seni begitu suci, sebenarnya adalah khayalan dan impian kosong belaka. Bahwa aku adalah badut yang tolol dan menjadi permainan yang asing dan sia-sia.
Akhirnya aku mengerti tentang penonton. Sejak saat itu aku tak percaya lagi pada tepukan tepukan mereka, atau pada bungkusan bunga mereka atau pada ketertarikan mereka. Ya, Nikituskha!orang memuja aku, membeli gambarku, tetapi aku tetap asing bagi mereka. Mereka memburu-mburu supaya dapat bertemu dengan aku tetapi melarang adik perempuan atau putrinya untuk kawin denganku, seorang yang hina dina. Tidak! Aku tak yakin lagi kepada mereka. (terhenyak dalam kursi polos) Tak yakin lagi kepada mereka.
Ketika aku telah mengetahui segalanya dan pengetahuan itu telah dibeli tunai, Nikituskha! Setelah itu…jika gadis itu…nah, kumulailah penggambaran tanpa tujuan hidup dari hari kehari, tanpa tujuan apa-apa.Akupun mengambil peranan pelawak murahan. Membiarkan diriku hancur.Oh, mestinya aku dulu adalah seorang artis yang besar namun perlahan-lahan aku buang jauh-jauh bakatku dan memainkan banyolan-banyolan tolol, kehilangan pegangan, kehilangan kekuatan ekspresi diri. Lalu, akhirnya hanya menjadi seorang banci Marry Andrew dari pada seorang laki-laki. Aku telah ditelan seluruhnya kedalam liang besar yang gelap. Namun, malam ini ketika aku terbangun kulihat kebelakang. Di sana , di sampingku terbentanglah waktu68 tahun.
Barulah aku menyadari betapa lamannya itu sudah. Dan, semua itu telah berlalu…
(tersedu-sedu)
…semuanya telah berlalu…..
Tetapi, betapa jeniusnya aku. Aku tidak bisa membayangkan kemampuanku, betapa fasih, bagaimana menariknya aku, betapa peka, dan betapa hebat tali senar (menepuk-nepuk dada) menggetar di dalam dada ini. Sungguh berdebar perasaanku memikirkannya!
Dengarlah sekarang! Tunggu! Bisr sku tsrik napas dulu. Yah, sekarang dengarkanlah ini:
Berlindung darah ivan kini kembali
Terkipas dari bibirku pemberontakan berkobar
Akulah Dimitri yang buta! Di dalam kobaran apiu
Boris akan musnah diatas tahta yang kutuntut
Cukup! Pewaris tsar tak tampak lagi
Berlutut ke sana ke ratu Polandia yang congkak
Jelekkah itu, ha? (cepat) Tunggu! Nah ini sesuatu dari Raja Lear. Langit gelap, kelihatan hujan turun deras, guruh mengguntur, kilat … zzz zzz zzz … menerangi seluruh permukaan langit, dan kemudian dengarkanlah :
Tiuplah angin, hancurkan pelipismu! Amuk! Tiupkan!
Sehingga kau basahi puncak menara kami, tenggelamkanlah ayam-ayam Kau berlekang pikiran yang pasti membakar
Patung disambar petir
Hanguskan kepalaku yang ubanan!
Dan kau segala guruh
Yang menggelegar pukul ratakan bentuk dunia yang gemuk!
Hancurkan kesuburan dunia, segala kecambah leburkan sekali
Itulah yang membuat orang tak bersyukur!
Nunolo, air suci istana di dalam rumah gersang lebih baik daripada air hujan di rumah ini. Bagus, Nunolo, masuklah. Mintalah anugerah putrimu : ini adalah malam belas kasihan bagi orang-orang bijaksana maupun orang tolol.
Menggunturlah sesuka hatimu!
Muntahkan kabar!
Luncurkanlah hujan!
Bukan cuma hujan. Angin, kilat, api adalah putri-putrimu.
Aku bukan menuntutmu, kau anasir-anasir,
dengan kejahatan aku tak pernah beri kau kerajaan,
kunamakan kau anak-anak nada
Ah! Sungguh mampu dan berbakat kau! Dan, aku memang artis ulung! Selanjutnya kini, inilah sesuatu lagi semacam tadi, untuk mengembalikan masa mudaku lagi.
(Meniup Harmonika)
Hebat! Hebat sekali! Di manakah setan yang bersarang di dalam usia tua ini? Aku bukan orang tua, semuanya itu omong kosong. Arus tenaga masih mengalir di dalam diriku. Inilah hidup, gairah, dan muda!. Usia tua dan jenius tentulah tidak berdampingan bersama-sama.
Ada baiknya aku istirahat sejenak agar tenagaku pulih.
(duduk di atas level. Hening sejenak, lalu membacakan sebuah puisi)
Bulan telah lenyap, tiada lagi cahaya
Mendampingi gugusan bintang kesepian yang meratap pucat
Di cakrawala ada yang tiba-tiba bercahaya
Bunga putih bersih di tengah-tengah lembah bunga mawar
Disusupi kunang-kunang,
Yang cahayanya suram berkedip-kedip,
Bagai harapan yang enggan menjelma
(Suara pintu terdengar. Memanggil, berpaling ke arah suara-suara tadi)
Yeghorka, Petrushka! Sudahlah, lebih baik aku ganti pakaianku. Aku bukan orang tua. Semua itu tolol, omong kosong! (Tertawa gembira)Apapula yang ku tangisi? Ini bukan … kemauan! Ya, ya, segalanya ini bukan kemauan! Di mana ada seni dan jenius di situ pasti tidak ada segala ketentuan, kesepian, atau penyakitan … hanya kematian itu yang semakin dekat
Tidak! Tidak, Nikitushka!
"Segalanya itu telah berlalu dari kita sekarang! Betapa jeniusnya aku! Aku seperti uap lemin yang keluar dari botolnya
(Mereka pergi)
Aku bukanlah jenius. Aku hanyalah cocok disamakan dengan promter. Bahkan, untuk itupun aku terlalu tua. Ya … aku ingat baris-baris dari Othelo, bunyinya….
Selamat tinggal kenangan damai!
Maha perang
Yang mengalahkan angin unggul!
Oh, selamat tinggal!
Selamat tinggal ringkik kuda, dan sangkakala terompet
Pukulan genderang bersemangat
Suling yang menembus pendengaran
SELESAI
*)Disarikan dari lakon Nyanyian Angsa saduran Djohan A Nasution
Tidak ada komentar:
Posting Komentar