Rare Angon
Teks Pertunjukan:
Ibed Surgana Yuga
Tokoh-tokoh:
1. Aku
2. Rare Angon
3. Lubangkuri
4. Dewa Siwa
5. Dewi Durga
6. Seseorang
7. Seorang Nenek
8. Seorang Anak
9. Seorang Ibu
10. Anak-anak Kecil
11. Raja
12. Pasukan Kerajaan
13. Orang-orang
14. Binatang-binatang
15. dan lain-lain
Jejak-jejak yang Berserak
Malam.
Aku melintas.
Aku:
Malam, Rare. Malam sudah begitu larut. Malam, Rare. Malam sudah begitu larut. Rare. Malam. Larut. Sudah. Rare. Malam larut. Begitu malam. Rare (terus mempermainkan kata-kata itu). Malam, Rare. Malam sudah begitu larut.
Dewa Siwa melintas sambil menyeret Dewi Durga.
Dewi Durga:
Kau juga tahu, Dewa Siwa cintaku, telah kupindahkan vaginaku ke telapak kakiku (terus mengucapkannya berulang-ulang).
Seorang anak kecil celingukan. Muncul beberapa anak kecil lagi, celingukan. Lalu mereka bertemu, berkumpul, salah seorang dari mereka mengucap sepenggal dongeng itu di depan yang lainnya.
Seorang Anak:
Malam itu Rare Angon bermimpi didatangi seorang kakek berpakaian serba putih. Kakek itu bilang kalau Lubangkuri benar-benar ada. Lubangkuri adalah seorang gadis yang tinggal di sebuah puncak gunung di timur laut.
Maka, dengan restu orangtuanya, berangkatlah Rare Angon ke tempat itu, dalam waktu yang lama. Ia habiskan sisa masa kecil dan seluruh masa remajanya untuk mencari Lubangkuri. Akhirnya, Lubangkuri ditemukan juga oleh Rare Angon.
Bersamaan dengan pengucapan dongeng itu, seorang ibu menyerahkan sebentuk upacara untuk kelahiran anak-anaknya dengan taburan uang receh.
Setelahnya, seorang nenek mencari cucu-cucunya di setiap sudut yang ia temui.
Seorang Nenek:
Ke mana cucu-cucuku pergi? Di mana mereka dilahirkan? Jalan-jalan itu terlalu berbahaya untuk mereka lalui.
Anak-anak kecil yang polos itu menengadah, meminta sesuatu.
Di kejauhan Aku mencoba menjelaskan kelahiran demi kelahiran.
Aku:
Ia lahir bersama sapi-sapi. Bersama televisi. Bersama keluasan tanah gembala. Bersama dongeng-dongeng. Bersama gemuruh kota-kota.
Ia adalah Rare Angon. Adalah aku. Adalah kau. Adalah tidak siapa pun juga.
Seorang nenek menemukan cucu-cucunya pada ceceran uang receh dan sisa upacara.
Seorang Nenek:
Ssstt ...! Diamlah! Cucu-cucuku mau tidur. Mereka lelah. Begitu lelah. Setelah seharian mereka menggembalakan sapi-sapi. Ssstt ...! Kumohon, jangan ganggu cucu-cucuku. Mereka sedang belajar untuk tidur lelap dan mimpi indah.
Kalian juga harus tidur, seperti cucu-cucuku. Lihat, senja sudah tak menemani kalian lagi. Ia tengah menyelinap ke sana, ke rumah orang-orang yang tak kalian kenal.
Tidurlah! Tapi jangan lupa, sebelum tidur kalian harus cuci kaki dan tangan, lalu berdoa. Mohonlah pada Tuhan kalian, agar Ia mengirim sebuah dongeng ke mimpi kalian.
Semua cucu harus tidur di malam hari. Semua cucu harus didongengi menjelang tidur. Semua cucu harus menjadi seperti Rare Angon.
Anak-anak kecil itu memunguti uang receh yang bertebaran di jalanan. Betapa riangnya mereka. Seorang nenek menjaga mereka, seakan ia tengah diserang perasaan bahwa anak-anak itu begitu rentan diterjang petaka.
2
Rare Angon, Lubangkuri, Dongeng yang Sedemikian Rupa
Aku muncul, mencoba menjelaskan perihal kisah ini.
Aku:
Saya bukan pendongeng. Saya hanyalah seorang penggembala yang mengagumi Rare Angon. Tapi, saya ingin mendongeng untuk Anda sekalian. Dongeng masa kecil yang pernah saya dengar dari Nenek. Ini dongeng tentang Rare Angon, yang barangkali sama dengan dongeng yang sudah Anda hapal sejak kecil.
Ah, ini pasti membosankan buat Anda sekalian. Saya tahu, tidur Anda sekarang tak bisa lagi dinyenyakkan oleh dongeng masa kecil. Anda lebih suka dinina-bobokan dua puluh empat jam siaran tivi, atau SMS-SMS genit menjelang tidur.
Tapi, tetaplah Anda di situ. Duduk atau berdirilah dengan nyaman. Anggap saja Anda sedang menonton tivi di ruang keluarga. Atau sambil SMS-SMS-an. Boleh, boleh. Silakan. Tapi saya mohon, ringtone-nya jangan dihidupkan. Anda boleh juga sambil ceklak-ceklek memotret. Tapi ingat, blitz-nya mohon jangan dinyalakan.
Baiklah, sambil Anda melakukan itu semua, tolong dengarkan saya – untuk kali ini saja.
Di suatu tanah gembala, seorang anak gembala – Rare Angon namanya –menggurat Lubangkuri di atas tanah.
Aku:
Lihatlah di tanah gembala itu. Lihatlah anak gembala itu. Dialah Rare Angon. Anda tahu, ia sedang melukis Lubangkuri di sana. Di atas tanah gembala itu.
Rare Angon:
Telah lama kukenal lekuk dan liukmu itu. Tapi baru kali ini aku menemukanmu, menemukan halaman rumahmu. Di sini, di atas tanah gembala ini. Kau adalah penetrasi imaji dan tanganku, yang tumpah sempurna di atas tanah. Lubangkuri namamu, gadis yang lahir dari tanah gembala.
Apakah ini pertemuan yang telah kita rencanakan, Lubangkuri? Pernahkah kita berjanji untuk bertemu di sini? Ah, sebentar lagi senja akan datang. Aku tak mau pertemuan ini begitu singkat. Ayo, Lubangkuri, ikutlah ke rumahku. Kita bisa ngobrol tentang banyak hal, sampai aku terlelap tidur, dan mungkin melupakanmu.
Tiba-tiba derap dan ringkik kuda. Pasukan kerajaan datang membawa deru dan gemuruh. Lalu raja dengan kuasanya.
Aku:
Rare, lihat, ada yang menuju ke mari. Aku tak tahu siapa. Apa ada yang mau menggembalakan sapi lagi di sini? Rare, mereka banyak sekali. Menderu seperti angin topan. Rare, kenapa tubuhku menggigil? Rare ....
Bayangan Lubangkuri, gadis yang dilukis di atas tanah itu, muncul dan meludah ke mana-mana.
Aku:
Rare, ringkik dan derap kuda raja mengejar kita. Kita tak bisa lari. Tak ada tempat untuk sembunyi. Sebelum terlambat, kita anak-anak gembala harus memasang sujud pada Paduka Raja. Sebelum terlambat, kita harus menggigil ketakutan, sebagaimana diajarkan orangtua kita.
Rare Angon dan Aku melakukan ritual penghormatan itu. Mereka menyerahkan segalanya pada kekuasaan raja.
Hingga pasukan kerajaan dan raja berlalu, meninggalkan gigil, ketakutan, dan tekanan yang menyesakkan dalam diri Rare Angon.
Aku:
Rare, raja menghendaki Lubangkuri. Kau harus menyerahkannya ke kerajaan. Kalau tidak, hukuman mati menunggumu.
Sekarang kau berada di ujung tanduk sapi-sapimu sendiri, Rare. Lubangkuri bukan mahakarya! Lubangkuri hanyalah malapetaka!
Orang-orang berbisik satu sama lain, seperti mengunjingkan sesuatu.
Orang-orang:
Mahakarya adalah malapetaka. Mahakarya adalah malapetaka. Mahakarya adalah malapetaka ... (terus-menerus).
Rare Angon mengancam dirinya.
Rare Angon:
Hambalah yang menggambarnya, Paduka. Beribu maaf jika tangan kotor hamba ini terlalu lancang. Ampun, Paduka, Lubangkuri hanya angan hamba belaka. Hamba sama sekali tidak mengenalnya.
Seorang anak terbangun dari lelap tidurnya. Ia menangis dalam ketakutan. Sebuah mimpi buruk baru saja datang.
Seorang Anak:
Maaa .... Mama .... Aku takut, Ma. Ada hantu datang ke kamarku. Aku takut sekali, Ma. Maa .... Mama .... Mama di mana?
Sementara Rare Angon masih sibuk menenangkan gigil yang menyerang tubuhnya.
Seorang nenek datang menengok cucu-cucunya yang terbangun dari lelap tidur mereka.
Seorang Nenek:
Ssstt ...! Tidurlah, cucuku manis. Hantu itu tidak akan datang kalau kau tidur yang nyenyak. Tidurlah, Nenek selalu menjagamu.
Anak itu tertidur di tubuh neneknya.
Sementara gigil kian panjang menjelajah ke tubuh Rare Angon.
Rare Angon:
Tapak kaki kuda raja beringsutan di atas tanah; menghapus wajah cantik Lubangkuri. Tak ada sisa kening yang bisa dikecup. Tak ada sisa mata yang mandang keluasan tanah gembala. Yang tersisa hanya tapak kuda yang kian meronta di atas tanah.
Lubangkuri tinggalkan aku sendiri dalam gigil.
Lubangkuri, tak adakah sisa pertemuan kita yang bisa kukenang?
Kutatap senja yang mulai jatuh, berharap menemukan sisa-sisa wajah Lubangkuri di sana. Tapi setiap pergantian waktu seakan telah dikuasai titah raja yang menggelegar bagai lecut cambuk kuda.
Haruskah aku mengutuk diri karena telah menggurat Lubangkuri di atas tanah? Haruskah kupotong tanganku ini?
Seorang nenek datang dari tidur cucu-cucunya yang kembali lelap.
Seorang Nenek:
Rare, kau harus menyerahkan Lubangkuri kepada Paduka Raja!
Aku datang dari rasa ibanya pada Rare Angon.
Aku:
Malam sudah begitu larut, Rare. Pulanglah!
Seorang Nenek:
Ingat, Rare, hukuman mati tengah mengancammu!
Aku:
Pulanglah, Rare. Ayah-ibumu pasti menunggumu.
Seorang Nenek:
Bukankah kau tak mau jadi kutuk raja, Rare?!
Aku:
Sapi-sapimu juga harus segera dikandangkan.
Seorang Nenek:
Bukankah kau tak mau mengganggu lelap tidur cucu-cucuku?!
Aku:
Esok masih ada waktu untuk menggembala lagi, Rare.
Seorang Nenek:
Jalan yang harus kau tempuh sudah sedemikian rupa adanya, Rare!
Aku:
Ayolah, Rare. Angin malam tidak baik untuk tubuhmu.
Seorang Nenek:
Kau tak ada kuasa untuk melawan pakem!
Seorang anak kembali terbangun dari lelap tidurnya.
Seorang Anak:
Maaa .... Mama .... Hantu itu datang lagi, Ma. Aku takut. Takut sekali, Ma. Mama ....
Seorang nenek menengok lagi cucu-cucunya yang terbangun tengah malam.
Seorang Nenek:
Ssstt ...! Tidurlah, cucuku manis. Hantu itu tidak akan datang kalau kau tidur yang nyenyak. Tidurlah, Nenek selalu menjagamu.
Anak itu kembali tertidur di tubuh neneknya.
Aku:
Anak-anak tidur juga akhirnya. Entahlah, mereka nyenyak atau tidak.
Tapi di sana, di dalam dongeng, tak pernah ada yang tidur. Dan senja itu ...
Rare Angon:
Senja itu, sehari perjalananku mencarimu, Lubangkuri, kaki kiriku tertusuk duri. Aku terus menyeret langkah. Bertahun-tahun. Hingga masa kecilku tertinggal di jalan setapak yang kulewati delapan belas tahun yang lalu. Hingga masa remajaku hanyut di sungai kecil, di mana aku membasuh tubuhku sebelas tahun lalu.
Bayangan pasukan kerajaan menghantui perjalanan Rare Angon.
Rare Angon:
Setelah beribu-ribu senja, kutemu juga kau, terduduk di halaman rumahmu. Kau duduk sedemikian rupa, seakan menunggu seseorang. Akukah yang kau tunggu, Lubangkuri?
Lubangkuri menampakkan diri akhirnya di depan Rare Angon.
Lubangkuri:
Begitu saja kau datang menyapaku dengan sebuah ajakan, Rare.
Rare Angon:
Tapi kenapa halaman rumahmu berbeda, Lubangkuri?
Lubangkuri:
Lalu kuludahi wajah coklatmu.
Rare Angon:
Kenapa di wajahmu tak kucium bau tanah gembala yang bertahun-tahun aku tinggalkan?
Lubangkuri:
Maafkan aku, Rare. Tapi itulah yang ingin kulakukan padamu.
Rare Angon:
Di mana wajah cantikmu, Lubangkuri? Benarkah itu wajahmu?
Lubangkuri:
Telah lama kita hidup di sana, Rare. Di dalam dongeng. Segalanya seakan tergantung pada dongeng. Pada ocehan nenek-nenek yang menina-bobokan cucunya.
Tapi lihatlah, Rare, si cucu yang akhirnya terlelap tidur tak pernah membawa dongeng itu ke dalam mimpinya. Ia lebih asyik dengan mimpi-mimpi Doraemon, Shinchan, dan SpongeBob.
Aku mencoba menjelaskan lagi kisah ini. Di saat yang sama, di kejauhan, terjadi sebuah pertemuan yang lain – sekian pertemuan yang direncanakan, namun tak pernah bertemu.
Aku:
Begitulah. Pertemuan itu terjadi. Pertemuan yang kedua kalinya? Ah, aku tak berani mengatakannya begitu padamu. Lihatlah, kegembiraan macam apa yang menghiasai raut wajah mereka ketika pertemuan itu? Adakah kegembiraan dan keharuan seperti yang kau rasakan, ketika kau melihat wajahmu menjadi begitu cantik di cermin, setelah dipoles berjuta rupiah produk kosmetik? Adakah kebanggaan seperti ketika kau, dengan mobil barumu, mengajak pacarmu kencan malam Minggu?
Sudahlah! Ini hanya sebuah dongeng. Bukan sinetron yang bisa membuat kalian menangis dan marah setiap hari. Dongeng tidak lebih penting dari sebuah SMS atau sebungkus mie instan. Toh kalian juga tetap bisa tidur lelap tanpa didongengi, kan?
Tapi dongeng ini tak berhenti sampai di sini. Barangkali tak kan pernah berhenti.
Lubangkuri:
Lubangkuri namaku, gadis yang lahir dari titah raja. Aku menjadi tersohor, menjadi selebriti, karena nafsu jalang raja menghendaki kecantikanku. Popularitasku melejit ketika senja mulai meninggalkanmu, ketika anak-anak kecil mulai mengantuk, ketika dongeng-dongeng berhamburan di kepala mereka, seperti acara tivi yang kau mamah di setiap detik hidupmu.
Lubangkuri namaku, gadis yang menjadi petaka bagi seorang anak gembala. Dan aku tak mau jadi petaka yang kedua kalinya bagi anak-anakmu.
Seseorang menembang di kejauhan.
Seseorang:
Awit bangsaning wiryadi,
wanudya dadya lelangyan,
tan apilih lulurune,
jangji linangkung ing warna,
mimbuhi kawibawan,
sampun pangagemipun
para nata sugih garwa.
Lubangkuri:
(Tiba-tiba peringainya berubah keras dan menantang, binal) Akulah Lubangkuri yang kau cari, Rare. Lubangkuri yang dikehendaki raja. Lubangkuri yang diinginkan semua orang. Akulah Lubangkuri dari segala Lubangkuri.
Ayo, Rare, kita ke kerajaan. Serahkan tubuhku pada raja. Biar gigil dalam tubuhmu berpindah ke tubuhku, ketika aku menggeliat di atas ranjang, ketika kutadah tumpahan birahi raja di setiap lekuk tubuhku, ketika aku dan raja lupa dengan segala rasa sakit.
Panggilkan rajamu, Rare! Suruh ia temui aku di kamar, di mana ia biasa menemui selir-selirnya.
Rare Angon mengusung Lubangkuri.
Seseorang masih menembang di kejauhan.
Seseorang:
Kathah kang sampun ngalami,
duk zaman kina-kina,
emper-empering lelakon,
para ratu Nuswa Jawa,
amek garwa mangkana,
panemune mboten saru,
mandar karya srining pura.
Seorang anak kembali mengucap dongeng itu.
Seorang Anak:
Setelah Lubangkuri di temukan, lalu Rare Angon menyerahkannya kepada raja. Raja sangat senang.
Namun raja malah takut keberanian Rare Angon akan menggusur wibawanya. Maka raja mencari akal untuk membunuh Rare Angon. Berturut-turut Rare Angon diperintahkan membawa seekor harimau, naga, lalu sesarang lebah beracun ke istana. Dengan kekuatan manik astagina dari istrinya, Rare Angon mampu memenuhi semuanya.
Raja akhirnya termakan perintahnya sendiri karena tawon-tawon yang dibawa Rare Angon menyengat sekujur tubuhnya hingga mangkat.
Setelah itu, rakyat mengangkat Rare Angon menjadi raja. Rare Angon pun memerintah dengan bijaksana.
3
Siwa dan Petaka di Tubuh Rare Angon
Rare Angon:
Rakyat telah mengangkatku jadi raja. Telah kunikahi Lubangkuri, gadis yang dulu hanya angan-anganku belaka. Ia jadi permaisuriku sekarang. Dan rakyat pun hidup sejahtera untuk selama-lamanya. Lalu apa yang harus aku lakukan setelahnya? Aku menerima sesuatu yang telah selesai. Siapa yang sanggup melanjutkan kisah ini?
Seorang Nenek:
Itulah garis hidupmu yang sudah sedemikian adanya, Rare. Kau adalah Dewa Siwa yang memanusia.
Aku:
Tuyi tatuwe ye ring manuse, ikang paksi, sate, mine, ring ragante yate wewalunganing ragante ike, Sang Hyang Rare Angon sarire utame.
Seorang Nenek:
Maka, sebutlah puja-puji untuk Sang Hyang Rare Angon, gelar-gelar agung untuk Dewa Siwa.
Pasukan kerajaan muncul. Mereka melafal gelar-gelar agung Dewa Siwa sebagai penguasa bangsa binatang.
Pasukan Kerajaan:
Vrsanka, Vrsavahana, Krttivasa, Mrgavyadha, Pasupati, Tarksy, Mrgapati, Vyaghracarmambara, Vyalin, Suparna, Mrgabanarpana, Yugavarta, Vyaghrakomala, Vrsakapi, Dharmadhenu, Nagaharadhrk, Vyalakalpa, Devashima, Nagabhusana, Krttibhusita, Hamsa, Hamsagati, Vaya, Varahasrngadrhk, Shima, Vaiyaghradhurya.
Lalu sebuah upacara tergelar – sebuah upacara yang lain, upacara di masa depan anak-anak kelak.
Rare Angon:
Aku duduk di sini, di singgasanaku. Demikian tinggi, hingga seakan tidak ada yang sanggup mendongakkan kepalanya untuk memandang ujung kakiku. Dongeng ini telah diselesaikan dengan sempurna, sesempurna tidur anak-anak itu.
Tiba-tiba aku seperti diserang penyakit. Entah penyakit apa namanya ini. Tapi aku yakin bukan satu, tapi beratus, beribu, bahkan berjuta penyakit menggempur tubuhku dari segala penjuru. Inci demi inci tubuhku digerogoti. Sakit sekali. Aku tak bisa menggerakkan tubuhku.
Tapi lihat tubuhku, seperti tak terjadi apa-apa padanya. Betapa, semuanya memang telah diselesaikan sampai di sini.
Dewi Durga – metamorfosis Lubangkuri – muncul.
Dewi Durga:
Siwa, siapa sebenarnya yang telah mengkhianati cinta kita?
Rare Angon:
Siapa kau? Aku bukan Dewa Siwa.
Dewi Durga:
Kau tahu betapa aku mencintaimu, Siwa. Aku juga tahu betapa kau mencintaiku. Karenanyalah pada suatu ketika kita sepakat untuk menyatukan diri, menjadi satu jiwa, tapi dengan dua tubuh. Tubuh lelaki dan perempuan.
Dan ketika itu kau sakit. Aku pun sakit. Tapi kubawakan juga susu lembu itu sebagai obatmu.
Rare Angon:
Siapa kau? Aku sama sekali tak mengenalimu.
Dewi Durga:
Siwa, seberapa dahsyat kutukanmu sehingga kau sendiri tak bisa mengenaliku? Kutukanmu menurunkanku ke malam paling pekat dunia manusia. Telah kupelihara manusia-manusia laknat.
Rare Angon perlahan bermetamorfosis menjadi Dewa Siwa.
Dewa Siwa:
Kaukah itu Dewi Uma?
Dewi Durga:
Ya, aku Uma yang telah kau kutuk menjadi Durga.
Katakan, Siwa, di mana letak pengkhianatanku? Telah kudapatkan air susu lembu itu dan kupersembahkan padamu.
Dewa Siwa:
Tapi kau telah bersenggama dengan anak gembala itu untuk mendapatkannya.
Dewi Durga:
Ya! Tapi telah kupindahkan vaginaku ke telapak kakiku. Lalu anak gembala itu menyenggamainya tanpa menjamah tubuhku. Tidakkah kau memahami pengorbananku? Tidakkah kau memahami cintaku padamu, Siwa?
Dewa Siwa:
Pengkhianat tetaplah pengkhianat. Ingatlah itu, Durga.
Dewi Durga:
Aku tahu anak gembala bernama Rare Angon itu adalah kau, Siwa.
Dewa Siwa:
Ya, dia adalah jelmaanku. Tapi dia bukan aku.
Dewi Durga:
Wahai Siwa yang memiliki kuasa atas segala kuasa, di mana kuasa belas kasihmu? Di mana kuasa keadilanmu?
Baiklah ....
Dewa Siwa dan Dewi Durga bergumul – antara nafsu dan kebencian.
Beberapa ekor binatang muncul, menunjukkan pengabdian kepada Dewa Siwa, lalu menjaga pergumulan Dewa Siwa dan Dewi Durga.
Beberapa anak kecil bermain perang-perangan dengan pistol air dan permainan lainnya. Mereka sempat menembakkan pistolnya ke wajah Dewa Siwa dan Dewi Durga, lalu asyik lagi bermain.
4
Kota, Mimpi, Nostalgia
Lalu sebuah dunia yang tumpang tindih, tak dapat dipilah. Nostalgia dan mimpi yang centang-perenang. Siapa pun boleh ambil bagian atau terdampar di sana.
Aku:
Hei! Siapa di sana?
Seorang anak celingukan mencari tivinya yang entah lari ke mana.
Seorang Anak:
Ma, tivinya ditaruh di mana? Aku mau nonton.
Aku:
Hei, wajahmu kabur! Tolong sebutkan namamu!
Rare? Benarkah itu kau?
Bayangan Lubangkuri melintas.
Lubangkuri:
Kaukah itu, Rare?
Aku:
Masuklah, Rare, langit telah berbeda sekarang.
Lubangkuri:
Kaukah yang duduk di tanah gembala itu?
Aku:
Halaman rumah ini juga telah berbeda.
Lubangkuri:
Di mana sapi-sapimu, Rare?
Aku:
Tanah untuk menggembalakan sapi juga tak ada lagi.
Lubangkuri:
Ada apa dengan wajahmu, Rare?
Aku:
Masuklah, Rare, di beranda kita bisa ngobrol tentang bising jalanan.
Lubangkuri:
Benarkah itu wajahmu?
Seorang Anak:
Ma, tivinya ditaruh di mana? Aku mau nonton.
Di televisi, seseorang mendongeng tentang anak-anak. Seseorang yang lain lagi memberikan penawaran produk-produk menggiurkan.
Seseorang:
Selamat malam. Berjumpa kembali dalam berita terhangat detik ini.
Tiga tokoh terpopuler saat ini dikabarkan telah melancarkan serangan mereka ke kamar anak-anak, setelah berhasil membobol pintu pagar, ruang tamu, dan kamar mandi. Ketiga tokoh tersebut, yaitu Doraemon, Shinchan, dan SpongeBob, yang telah mengenal dengan baik seluk-beluk kamar anak-anak, dengan leluasa ... (kian melirih, lalu tinggal ucapan tanpa suara).
Lubangkuri:
Akukah Lubangkuri yang kau cari, Rare?
Seorang Anak:
Ma, tivinya ditaruh di mana? Aku mau nonton.
Lubangkuri:
Apakah aku Lubangkurimu, Rare?
Seorang Anak:
Ma, aku mau nonton. Tivinya mana?
Lubangkuri:
Apakah aku Lubangkurimu, Rare?
Seorang Anak:
Ma, tivinya mana?! Aku mau nonton!
Seorang ibu dengan ikhlas memandang setiap kepergian anak-anak yang dilahirkannya.
Seorang Ibu:
Ke kota, anakku, tempat segala pertemuan bermuara.
Seseorang asyik olahraga pagi sambil mengobrol.
Seorang Ibu:
Ke kota, anakku, tempat segala pernik kehidupan bisa kau temui. Ke kota, anakku, tempat segala aksesori kehidupan bisa kau temui.
Seseorang dengan pistol – barangkali pasukan keamanan – tengah melakukan pengepungan.
Seorang Ibu:
Ke kota, anakku, tempat segala yang instan bisa kau temui. Ke kota, anakku, tempat segala darah ditumpahkan. Ke kota anakku, tempat segala hidup dikekalkan.
Lubangkuri:
Apakah aku Lubangkurimu, Rare?
Seorang Anak:
Ma, tivinya mana?! Aku mau nonton!
Ada bayangan di kejauhan. Seperti Rare Angon. Seperti Dewa Siwa.
Seorang nenek datang dari cerewet cucu-cucunya yang tak pernah mau tidur.
Seorang Nenek:
Rareeee ...! Cuihhh ...! Kau harus bertanggung jawab atas cucu-cucuku yang tak pernah mau tidur!
Lubangkuri:
Kaukah itu, Rare? Kaukah yang duduk di tanah gembala itu? Di mana sapi-sapimu, Rare? Ada apa dengan wajahmu, Rare? Benarkah itu wajahmu?
Seorang Nenek:
Dengar, Rare, mulai sekarang, nina-bobo cucu-cucuku adalah caci-maki buatmu!
Aku:
Hei! Siapa di sana? Hei, wajahmu kabur! Tolong sebutkan namamu!
Ah, sudah malam. Tidurlah kalian. Sebab senja kalian sudah tak menemani kalian lagi. Mungkin ia menyelinap ke rumah teman kalian, atau temanku, atau teman semua orang.
Ah, biarlah ia pergi ke mana ia suka. Sekarang yang penting kalian tidur. Jangan lupa, sebelum tidur kalian harus cuci kaki dan tangan, lalu berdoa. Mohonlah pada Tuhan kalian, agar besok pagi kalian bangun dengan tubuh yang segar, dan kalian bisa lagi nonton tivi, buka situs-situs porno di internet, chatting, atau SMS-SMS-an hingga jempol kalian panas.
Esok pagi, sebelum kalian mandi atau gosok gigi, tolong SMS aku. Ingatkan aku tentang acara tivi mana yang tak boleh aku lewatkan besok.
Selamat tidur. Hati-hati dengan tidur kalian.
Seorang Anak:
Maaa …, tivinya mana? Aku mau nonton.
Lalu kembali sebuah upacara tergelar lagi – sebuah upacara yang lain, upacara di masa depan anak-anak kelak.
Jogja, 2007-2008
Catatan:
Teks pertunjukan ini merupakan interpretasi dari teks-teks folklor tentang tokoh Rare Angon dari Bali. Folklor-folklor itu terdiri dari kepercayaan dan upacara pemujaan terhadap Sang Hyang Rare Angon, mite tentang Rare Angon dan Dewa Siwa serta dongeng tentang Rare Angon dan Lubangkuri.
Mementaskan naskah ini mohon memberitahu penulis: ibed_sy@yahoo.com.
Biodata Penulis
Nama : Ibed Surgana Yuga (KTP: Ida Bagus Eka Darmadi)
Kelahiran : Jembrana, Bali, 14 Agustus 1983
Alamat : Pondok Bambu Kuning, Cabean, Jl. Parangtritis KM 7 Sewon, Bantul, Yogyakarta
Email : ibed_sy@yahoo.com
Mobile phone : +6281 5576 8373
Tidak ada komentar:
Posting Komentar