Publik Teater dan Takaran Teater yang Baik
Oleh: Yusri Fajar
“Hidupmu Baik, Drama pun Baik”
(Emha Ainun Nadjib, 1977)
Makalah Bung Andhy Nurmansyah seputar celah dramaturgi dan resepsi penonton cukup menarik untuk didiskusikan lebih jauh meski sebenarnya diskursus tersebut sudah menjadi kajian sejak lama. Kaidah-kaidah dan teori-teori teater barat yang menempatkan penonton sebagai bagian penting, seperti dramatic space (Sam Sphehard), the reader as audience (Moss Hart), dan mise en scene (David Scanland) serta masih banyak yang lain, memang ‘mencerahkan’ tapi secara bersamaan juga bisa ‘mengaburkan’ (pinjam istilah Radhar Panca Dahana) konteks teater dan eksistensi publik teater Indonesia. Diskusi bisa lebih menarik, jika persoalan publik teater perlu lebih jauh digali. Selain itu, upaya pembacaan atas konteks dan perkembangan teater (dan publik) di Indonesia juga diperlukan. Ini tidak terlepas dari sejarah panjang publik teater Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari eksistensi teater rakyat tradisional. Di Indonesia jenis teater ini, sebagaimana di sampaikan Sumardjo (2004), memiliki wilayah publik dengan karakteristiknya. Ada memang grup teater avant-garde yang mengaleniasikan, ‘meludahi’, menantang (istilahnya Bakdi Sumanto), dan mempersetankan penonton. Tetapi, menurut Sumardjo, ‘tradisi’ teater yang demikian tidak punya akar kuat di Indonesia. Bahkan teater di Indonesia tidak biasa dengan bentuk-bentuk yang mengejutkan. Di TIM bulan Juli 1975, isu Avant Garde ramai didiskusikan. Banyak para seniman lokal yang menolak keras tuduhan sebagai ‘peniru teater absurd di Barat’ tetapi sebaliknya menggali unsur-unsur teater dan budaya daerah. Era Avant Garde telah berakhir.
Terkait dengan perdebatan seputar teater Avant garde Putu Wijaya pernah menulis, “ Sampai sekarang, saya melihat semua kritisi di Indonesia memakai literaratur barat sebagai kiblat. Kemudian tidak hanya dipakai sebagai bandingan akan tetapi juga dianggap sebagai ‘contoh’ yang lebih baik. Saya kira ini harus diakhiri sekarang. Kita semua bukanlah semata-mata duplikat atau peniruan apa yang sudah ada di Barat atau sedang terjadi di Barat.” Bersama Arifin, Sardono W. Kusuma dan beberapa lainnya, Putu memang dikenal sebagai tokoh yang menandai lahirnya teater mutakhir Indonesia dengan dramaturgi yang benar-benar pribumi. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari publik teater Indonesia yang memiliki akar horison kultural dan ideologis yang berbeda dengan barat.
II
Teater dan publiknya memang tidak bisa dilepaskan. Publik bukan hanya merupakan potensi tetapi sudah merupakan aktualisasi. Dalam seni arsitektur mengkin saja apresiatornya baru muncul pada generasi kemudian, tetapi tontonan teater tidak mungkin menunggu penonton generasi akan datang untuk mengapresiasi dan menghargainya. Tidak berarti para penonton sudah sepenuhnya siap lebih dulu. Sebagian dari mereka kadang ikut-ikutan datang untuk ‘mencari-cari’, lalu seakan-akan mengalami ‘pendidikan apresiasi’, dan tiba-tiba mendapati diri mereka pas benar.
Teater memang tidak boleh memaksa penonton, dan sebaliknya penonton juga tidak boleh memaksa sebuah pertunjukan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan ‘reseptif’ mereka. Dramaturgi sudah dimafhumi sebagai sebuah entitas yang tidak ansich teknis dan artistik. Dramaturgi secara ekplisit, kata Gunawan Muhammad, sudah membawa domain publik dalam diskursusnya dengan sendirinya. Oleh karena itu seorang pekerja teater selain harus memiliki kedalaman pengetahuan atas teks dan konteksnya, ia juga harus kenal betul ekspresi-ekspresi dalam masyarakat, harus menjadi bagian dari masyarakat, berdampingan dan saling memanusiakan, dengan demikian tidak akan muncul masalah antara teater dan publiknya. Tetapi di atas semua itu, hendaknya proses kreatif pekerja teater dan tuntutan publik tidak melakukan ‘penindasan’ satu sama lain karena masing-masing memiliki simbiosis mutualisme otonominya.
III
Ketika saya menonton pementasan Di Tunggu Dogot oleh Komunitas Seni Hitam Putih Padang panjang di Surabaya dua bulan yang lalu dan diminta oleh panitia untuk membedah pementasan tersebut, saya mendapati penonton yang hadir hanya sekitar 75 orang. Penonton secara umum, dalam diskusi, bisa saya katakan kurang antusias dalam menangkap dan menggali makna-makna yang terkandung di balik teks absurd yang ditulis oleh Sapardi tersebut. Wacana mereka tentang filsafat dadaisme dan eksistensialisme juga tidak kuat sehingga membuat mereka sulit menemukan berbagai clue yang dibangun Sapardi. Pengetahuan mereka terhadap pementasan naskah-naskah absurd juga kurang memadai sehingga apresiasi berjalan kesana-kemari tanpa arah. Tapi saya tak memaksa mereka untuk masuk dalam wilayah absurditas dan dekonstruksi dramaturgi konvensional yang dilakukan oleh para penulis dan pekerja drama absurd. Tidak pada tempatnya memaksakan apreasiasi publik.
Yang juga ironis adalah sang sutradara pentas juga tak menguasai betul karakteristik teks-teks absurd sehingga deskripsi-deskripsi dan penjelasan yang dia kemukakan hanya berhenti pada wilayah artifisial. Para aktor dan pekerja artistiknya juga tak mampu mengartikulasikan proses kreatif mereka ketika bergulat dengan penggarapan naskah absurd. Jadilah pentas pada malam itu hanya merupakan produksi drama yang aneh. Pertunjukan menjadi sajian slap-stick dan gimmicks tanpa kedalaman. Esensi pementasan teks absurd menjadi kabur disebabkan kecerobohan-kecerobohan dan ketidakberhasilan dalam menangkap makna dan atmosfer dasar teks itu sendiri. Ini merupakan bumerang sekaligus blunder yang tidak bisa ditoleransi.
Itulah sebabnya, Bakdi Sumanto (1999), dalam pengantar naskah terjemahan Beckett Waiting for Godot, menegaskan bahwa sebuah pentas harus diusahakan ‘sesetia’ mungkin dengan teks. Ini tidak mudah, karena besar kemungkinan, para penulis naskah-naskah drama absurd seperti Ionesco, Becket, Albee, Sartre, dsb dalam menulis naskah, tidak mempunyai bayangan atas publik yang akan menonton atau mengapresiasi drama yang mereka tulis. Sebagai kreator naskah seringkali para penulis mengalami ‘keliaran-keliaran’ proses kreatif yang mendahului bayangan publik apresiatornya. Karena itulah wajar jika salah satu elitisme teater absurd adalah pada terbatasnya publik yang bisa menikmatinya. Selain tidak linear, naskah-naskah absurd juga berkorelasi dengan filsafat tertentu yang tidak semua orang mudah memahaminya.
Saya juga kurang yakin kalau teman-teman teater Api Surabaya misalnya, sudah memiliki kesadaran jauh hari, ketika proses kreatif dijalani, tentang publik yang nantinya ‘siap’ menonton pertunjukkan Caligula ‘versi’ teman-teman Api yang aneh bagi penonton awam. Robert Blau, sang sutradara Waiting for Godot ketika dipentaskan di penjara San Quentin, masih harus menanyakan tantang siapa Godot kepada Beckett untuk mendapatkan kepastian dan mendapatkan ketepatan interpretasi. Seberapa penting siapa Godot bagi Blau sang sutradara sampai dia wajib bertanya pada Beckett? Tintun sutradara pentas Di Tunggu Dogot malah tidak menjawab siapa sebenarnya Dogot. Dia juga tidak pernah berusaha menanyakannya pada Sapardi Djoko Damono? Padahal penonton di Surabaya beberapa waktu yang lalu ‘terus’ mengejarnya! Tapi sudahlah. Saya bagaimana pun masih menaruh hormat dan mengapresiasi konsep Randai berbasis kultur Sumatra Barat yang diaplikasikan oleh teman-teman Hitam Putih Padang Panjang dalam pementasan naskah Sapardi tersebut. Di situ poin positifnya menurut saya. Sambil berdiskusi saya memberi masukan bernada guyonan,”Untuk menghadirkan kekonyolan-kekonyolan sebagaimana yang seringkali ada dalam pentas-pentas absurd, teman-teman Padang Panjang mestinya juga belajar dari Srimulat.” Mereka tertawa.
Lalu sebenarnya What comes first ideally? Creative process or audience consideration? Or Both are at the same time? That’s the question. Then how could it be explained?And then? Mungkin hal-hal ini yang dalam diskusi berikutnya bisa kita gali dan perdalam.
IV
Emha pernah menulis artikel menarik yang berjudul “Berdrama yang Baik Bukan menjadi Pamrih Rendra”. Menurutnya apa yang dikerjakan teman-teman Bengkel Teater Rendra di atas panggung tidak dipandang sebagai sesuatu yang ekstra dan terpisah dari kehidupan mereka. Teater bukan medium yang membutuhkan alat-alat agar bisa dipergunakan untuk menciptakan ‘drama yang baik’: anggota teater bukan alat-alat itu. Teater adalah juga irama, jalan darah kehidupan mereka. Apabila terjadi ‘kecelakaan’ waktu pentas, maka rendra tak sekedar menarik garis proyeksi ke arah latar sebab-sebab ‘metode teater’ yang dianutnya, tapi ia langsung menelusuri latar belakang kehidupannya, peta kesehariannya. Teater itu sendiri adalah laku hidup dan pancaran kepribadian. Karena itulah dalam tulisan Rendra sendiri Rendra Berkisah tentang Teaternya orang tidak menemui konsep berteater semacam Antonin Artaud, Bertold Brecht, Stanislaveky, Grotowski dan yang semacam itu. Dengan memperlakukan para pekerja teater dan publiknya sebagai pribadi-pribadi yang ‘hidup’ maka ‘komunikasi’ dalam pementasan bisa dijalankan.
Publik teater tidak bisa dididik secara instan, hanya melalui pementasan dalam semalam. Teater dan publiknya memerlukan proses yang bergerak melewati latar kulturalnya, latar kehidupan, nilai-nilai yang bersinggungan dalam hidupnya, dan pergulatan intens antara keduanya. Sementara, berdrama yang baik adalah sebuah pamrih kebudayaan. Sebab baik dan buruk, gagal dan berhasil adalah takaran kebudayaan. Jadi berhasil atau tidaknya sebuah pementasan bukan semata persoalan teori atau konsep tetapi secara esensial adalah juga berkaitan dengan bagaimana entitas-entitas dalam dunia teater mampu melakukan pembacaan atas laku, posisi dan alam kesadaran mereka masing-masing secara berjalin-kelindan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar