Sabtu, 29 Mei 2010

MITOLOGI YUNANI

Telah diceritakan sebelumnya, bahwa Dua Belas Dewa Olympus adalah yang utama dalam mitologi Yunani. Namun, hanyakah kedua belas itu? Tidak, tidak, masih amat banyak ragam dewa-dewi. Berikut ada beberapa lagi, yang sepertinya membuat manusia mencintai kehidupan dan ingin terus abadi:

Eros (Dewa Cinta): Biasa disebut Cupid dalam bahasa latin. Homer tak bercerita apa-apa tentangnya, tapi ini tertulis dalam tulisan Hesiod. Eros biasanya digambarkan buta atau ditutup matanya, kemungkinan karena analogi cinta yang membutakan. Biasanya, eksistensi kisah dalam mitologi diperkuat oleh puisi-puisi, namun soal Eros, filsuf Plato yang bercerita: "Eros membuat rumah dalam hati para pria, semuanya, kecuali mereka yang keras hatinya. Kehebatan Eros adalah, ia tak pernah salah. Wahai para pria, layanilah ia, maka sentuhan cinta membuatmu tak pernah berjalan dalam kegelapan." Meski demikian, puja puji Plato tak tepat benar dengan cerita Hesiod, malah sebaliknya:

Hatinya iblis, tapi lidahnya manis.
Tak ada kebenaran dalam dirinya. Dan ia kejam.
Tangannya mungil, namun mampu merentang panah hingga ambang ajal.
Anak panahnya itu, meski kecil, tapi membawa surga bersamanya.
Sentuhannya tak memberkati, karena terpendam dalam api.

The Graces (Dewi Rahmat): Dewi Rahmat terbelah tiga, yakni Aglaia (Dewi Kecemerlangan), Euphrosyne (Dewi Kebahagiaan), dan Thalia (Dewi Kegembiraan). Mereka bertiga adalah putri dari Zeus dan Eurynome. Meski demikian, ketiganya tak terpisah, melainkan trinitas, satu kesatuan. The Graces adalah penghibur sejati dan pemberi gelegak kehidupan. Pernah dalam suatu ketika mereka berdansa diiringi alat musik Apollo yang bernama lyra, pria seluruh dunia gembira ria melihatnya. Bersama dengan para Muse, The Graces dijuluki "the queen of song".


The Muses: Para Muse ada sembilan, mereka putri Zeus dan Mnemosyne, Dewi Memori. Seperti halnya The Graces, The Muses juga satu kesatuan. "Mereka adalah semua," kata Hesiod. Namun pada akhirnya, para Muse terbelah juga peran-perannya, ada Clio (Muse sejarah), Urania (Muse astronomi), Milpomene (Muse tragedi), Thalia (Muse komedi), Terpsichore (Muse dansa), Calliope (Muse puisi epik), Erato (Muse puisi cinta), Polyhimnia (Muse pujian pada ilahi), dan Euterpe (Muse lirik puisi). Menurut Hesiod, para Muse ini: "Jiwanya bebas, dan hatinya tak pernah berhenti mendendangkan lagu. Ketika pria manapun sedang gundah dulana dan jiwanya dinaungi kegelapan, maka nyanyian para Muse akan membebaskannya keluar menuju cahaya. Para Muse adalah berkat bagi para pria." Diceritakan pula, bahwa para Muse adalah pengiring musik tetap bagi Apollo dan para Grace. Instrumennya lyra, dan mainnya, konon, sebaik Apollo.

Sepertinya ada hal menarik dalam kisah mitologi ini. Pertama, soal gender. Ketiga Dewa-Dewi diatas selalu ada kaitannya dengan pemuasan hasrat pria. Ini semakin memperkuat sentralitas pria sebagai subjek, dan wanita sebagai objek. Mitologi bukan satu-satunya pemikiran purba yang menyinggung kedigjayaan pria. Agama-agama pun begitu: Muhammad pria, Yesus pria, Siddharta pria, bahkan konon Tuhan pun berkelamin, dan Ia pria. Berarti, setiap kisah kepercayaan, masih sulit melepaskan diri dari netralitas gender. Bisa jadi ini tak lepas dari kaum penutur ceritanya, yang juga pria (Homer dan Hesiod). Kedua, masih soal distingsi ala Barat. Sudah jelas, mitologi membuat distingsi yang tajam, segmentasi yang kuat antara peran Dewa-Dewi terhadap alam semesta ini. Ditambah kasus The Graces dan The Muses, ada pemisahan yang lebih ekstrim lagi, yakni pemisahan karakter diri. The Graces dibagi tiga, The Muses dibagi sembilan. Konsep jiwa tripatrit Plato dan dualisme Cartesian bisa jadi diinspirasi oleh mitologi. Ini semakin menunjukan tipikal cara berpikir Barat yang senang memilah-milah. Baiknya, ia semakin mudah dipahami dan dipelajari. Kelemahannya, barangkali, mengutip Bambang Sugiharto, membuat kita lupa, bahwa realitas sejati adalah hidup itu sendiri, hidup yang tak dibingkai-bingkai (gastel), seperti kata Heidegger.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar