Selasa, 22 Desember 2009

GEMURUH PERANG (DRAMA)

Naskah Wayang Sandosa
GEMURUH
PERANG

Sugito HS

2008

Untuk menggunakan naskah ini, mohon menghubungi penulis.

Kontak : 08562856610. email : komunitas_slenk@yahoo.co.id

Naskah ini adalah buah inspirasi atas pembacaan Serat Tripama karya KGPAA Mangkunegara IV

Konsep pertunjukan Wayang ini sesungguhnya adalah imitasi dari konsep pertunjukan Wayang Sandosa dan Pakeliran Padat.

Kisah perang Baratayuda, bagian dari epos Mahabarata, bukan sesuatu yang baru, namun bukan sesuatu yang usang.

Tidak banyak sesuatu yang baru dalam naskah ini. Begitu juga tidak banyak hal yang baru dalam pementasan wayang kulit dengan naskah ini.

Tapi, yang kami-lakukan ini benar-benar prestasi baru.

Yakinlah!

Komunitas SUKA LELANGEN EDINING KABUDAYAN

url : http://paguyubanslenk.blogspot.com

email : komunitas_slenk@yahoo.co.id

Cp : Jali (08562856610) / Gito (085292990929)

INTRODUKSI

PERTEMUAN KARNA DENGAN KUNTHI DI TEPI SUNGAI

Lampu blencong menyala, menyinari kelir. Petikan siter dengan teknik mbalung bertempo lambat mulai terdengar. Disusul lantunan tembang Asmaradana vokal putri berirama ritmis. Sesekali terdengar suara seruling.

Kunthi muncul dari sisi kiri, berjalan pelan ke kanan, sesekali berhenti dan menikmati pemandangan alam di kanan-kiri jalan, berjalan lagi hingga tidak tampak. Terus begitu hingga tembang selesai. Dan, akhirnya termangu di tepi kelir sisi kiri.

Karna muncul dari belakang Kunthi. Berlalu begitu saja melewati sebelah tempat Kunthi berdiri. Tapi, seketika berhenti ketika sampai di tepi kelir sisi kanan, lalu menoleh, memandang Kunthi, hanya sejenak, lalu kembali berjalan pergi.

Tak lama Karna muncul dari sisi kanan. Berjalan mendekati Kunthi. Berhenti beberapa langkah di depan Kunthi. Kemudian, terjadi dialog.

01. KARNA

Maaf, bukankah Anda Dewi Kunthi?

02. KUNTHI

Ya, benar. (maju satu langkah dari tempat berdirinya semula) Kau mengenalku, tapi aku belum mengenalmu. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?

03. KARNA

Belum. Tapi, saya sering melihat Anda di Astina maupun Amarta.

04. KUNTHI

Siapa namamu?

05. KARNA

Karna…, Basukarna.

06. KUNTHI

Basukarna…?!

07. KARNA

Ya. Emm, maaf, bolehkah saya memanggil Anda bibi?

08. KUNTHI

Ya. Tentu. Tentu saja boleh. Usiaku tentu tidak jauh berbeda dengan ibumu, jika kau anak pertama.

09. KARNA

Terima kasih. Emm, maaf, begini Bibi, kenapa Bibi Kunthi berada di tempat ini sendirian?

10. KUNTHI

Mencari angin. (berjalan maju melewati Karna) Sudah lama aku tidak memandang beningnya air sungai ini. Hitam bebatunya, hijau lelumutnya, warna-warni ikannya, sungguh tampak jelas. Sejelas kenanganku yang tersimpan rapat di tempat ini. Ya. Di sini. Tepi sungai ini.

11. KARNA

(berbalik) Emm, maaf, bukankah Bibi sudah tahu bahwa genderang isyarat perang antara Astina dan Amarta telah ditabuh?!

12. KUNTHI

Ya…. Dan aku sangat menyayangkannya. Mereka yang akan berhadapan di medan laga itu anak-anak dan keponakanmu sendiri. Kenapa harus ada perang saudara?! Dan, aku tidak memiliki kemampuan untuk mencegahnya. Mereka keras kepala. Itu yang paling kubenci dari sifat lelaki.

13. KARNA

Emm, sebaiknya Bibi saya antarkan pulang. Perang akan membuat tempat setenang dan seindah ini menjadi sangat bising dan menyeramkan. Bahkan membahayakan keselamatan siapapun dan apapun yang ada di sini.

14. KUNTHI

Terima kasih, eee…, maaf (berbalik menghadap Karna), siapa namamu tadi?

15. KARNA

Basukarna.

16. KUNTHI

Ya. Terima kasih Basukarna. Tapi, aku belum ingin pulang.

17. KARNA

Ada yang Bibi-tunggu?

18. KUNTHI

Ya. Ada.

19. KARNA

Maaf. Jika boleh tahu, Bibi sedang menunggu siapa?

20. KUNTHI

Kenangan. Aku sedang menunggu kenangan yang selalu sedia membawaku bertamasya ke masa lalu yang sangat indah sekaligus mengharukan, Karna. Sesuatu yang membuatku mampu menyungging senyum sekaligus meneteskan airmata.

21. KARNA

Tampaknya sangat berharga bagi Bibi.

22. KUNTHI

Ya. Sangat berharga. Bahkan tidak dapat digantikan oleh gunung emas sekalipun.

23. KARNA

Bibi Kunthi memendam kenangan di tempat ini. Ada yang sama. Tapi beda. Aku menanam harapan di tempat ini.

24. KUNTHI

Oh, ya? Harapan tentang apa yang kautanam di sini, Karna?

25. KARNA

(berjalan maju melewati Kunthi) Harapan bertemu dengan seseorang yang sekian lama kurindukan, Bibi. Aku sangat merindukannya. Bahkan hingga saat ini. Seandainya aku dapat benar-benar bertemu dengannya di sini, aku pasti akan memeluk tubuhnya dengan erat. Akan kucium tangannya, dan kutumpahkan seluruh rinduku yang nyaris membeku selama ini, Bibi.

26. KUNTHI

Apakah dia kekasihmu, Karna? Apakah kau sangat mencintainya?

27. KARNA

Ya, Bibi. Dia kekasihku. Aku sangat mencintainya, Bibi.

28. KUNTHI

Sejak kapan kalian berpisah?

29. KARNA

Tiga puluh delapan tahun yang lalu.

30. KUNTHI

Jangan bergurau, Karna. usiamu saja sekarang pasti belum genap empat puluh tahun. Mana mungkin kau sudah punya kekasih selagi masih bayi?

31. KARNA

Dia, kekasih yang kurindukan itu, adalah ibuku, Bibi. Kata ayah angkatku, dia meninggalkan aku, tiga puluh delapan lalu, ketika aku masih bayi merah, di tepi sungai ini.

32. KUNTHI

Oh! Jadi, yang kaumaksud kekasih itu ibumu? Lalu, kenapa tadi kau bilang “kata ayah angkatku”? Apakah ayah kandungmu juga pergi?

33. KARNA

Entahlah, Bibi. Aku tidak tahu. Hingga kini aku hanya punya ayah angkat. Eee…, maaf, kenapa jadi aku yang banyak cerita? Oh, ya! Bagaimana dengan kenangan Bibi di tempat ini?

34. KUNTHI

Ya. Hampir sama. Aku berpisah dengan kekasihku di tempat ini. Dia anak pertamaku. Anak buah cintaku dengan Surya, lelaki yang kucintai sebelum aku dinikahi Pandhu Dewayana.

35. KARNA

Surya?! Sepertinya aku pernah mendengar nama itu.

36. KUNTHI

Memang sama. Kami juga berpisah tiga puluh delapan tahun yang lalu. Di sini, di tempat ini aku menitipkan bayiku itu kepada seorang kusir.

37. KARNA

Kusir?! Kenapa banyak kesamaannya…?! Ayah angkatku juga seorang kusir.

38. KUNTHI

Benarkah…?! Siapa nama ayah-angkatmu, Karna? Katakan, Karna?! Siapa namanya?!

39. KARNA

E..e..e…, mungkinkah Bibi…, e..e..e….

40. KUNTHI

Ayo katakan, Karna! Siapa nama ayah angkatmu itu?! Apakah namanya…, nama ayah-angkatmu… Adi…, Adi….

41. KUNTHI & KARNA

Adirata…!!!

Seketika suasana hening.

42. KUNTHI

Ohhh…, anakku…! Karna! Kau anakku, Karna…! (mendekat)

43. KARNA

Ibu…! Bibi Kunthi ibuku?! Oh, Tuhan! Benarkah ini?! Mimpikah aku?! (mundur)

44. KUNTHI

Bukan, Karna. Ini bukan mimpi. Jika memang benar selama ini kau dibesarkan oleh Adirata, kau memang anakku. Kau putra Surya.

45. KARNA

Surya?! Putra Surya?! Ya. Aku ingat! Ayah-angkatku sering memanggilku dengan sebutan “Putra Surya”. Benarkah aku anak Surya?! (maju)

46. KUNTHI

Ya. Kau Suryatmaja, Karna. Kau anak Surya. Anakku! Kau anak kami, Basukarna!

47. KARNA

Oh, Ibu…! Ibu…! Aku tidak percaya ini…. Tidak mungkin…! Aku tak sanggup memelukmu…. (mendekat)

48. KUNTHI

Oh, Karna! Anakku! Maafkan ibu, Nak…. Oh, aku tak pantas memelukmu…. Oh, Tuhan…. (mendekat)

Mereka berpelukan.

Terdengar suara rebab dan biola, menyayat.

Suasana haru ini berlangsung lama.

49. KUNTHI

Karna, mari kita pulang ke Amarta. Sekarang kau, anakku yang hilang, telang kembali pulang. Ayo, Nak. Kita pulang ke Amarta. Bantulah adik-adikmu, para putra Pandhu melawan keangkaraan para putra Drestarastra. Mari, Nak.

50. KARNA

(melepaskan pelukan) Maaf, Ibu. Sejak bayi aku dibesarkan oleh Adirata. Aku makan dan minum dari bumi dan langit Astina. Aku prajurit Astina. Aku harus berperang untuk Astina.

51. KUNTHI

Apakah kau tega berhadapan dengan saudaramu sendiri, Nak?!

52. KARNA

Kamus perang tidak mengenal kata “tega” dan “tidak tega”, Ibu. Prajurit hanya tahu arti kata “berani”! Tidak yang lain!

53. KUNTHI

Tapi, kau akan berperang dengan saudaramu sendiri, Karna.

54. KARNA

Di palagan tidak ada kata “saudara”, Ibu. Palagan hanya mengenal kata “kawan” dan “musuh”. Meskipun saudara, jika bukan kawan berarti dia musuh.

55. KUNTHI

Kau sungguh tidak mengerti perasaan seorang Ibu yang takut kehilangan anaknya, Karna!

56. KARNA

Jika Ibu mengakui Basukarna sebagai anakmu, maka ketahuilah, Ibu. Basukarna adalah lelaki. Dan, anak lelakimu ini adalah prajurit. Jangan pernah meneteskan airmata atas kepergian seorang prajurit ke medan perang!

Pause.

Suara rebab menyayat kembali terdengar.

Wayang Kunthi dan Karna dijauhkan dari kelir, didekatkan ke blencong, sehingga bayangannya semakin besar dan kabur, lalu hilang. Kayon dimunculkan dekat dengan blencong sehingga bayangannya memenuhi kelir.

Seluruh pemain melantunkan lagu Sorak-sorak Pelog Lima diiringi semua instrumen.

Narasi:

Ada yang telah meniup terompet kerang.

Ada yang telah menabuh genderang.

Ya. Gemuruh itupun telah terdengar.

Panji-panji keakuan telah dikibarkan.

Pasukan telah diberangkatkan.

Gemuruh itu semakin jelas terdengar.

Astina dan Amarta bukan lagi tetangga.

Korawa dan Pandawa bukan lagi saudara.

Tak ada lagi bahasa kata.

Hanya ada bahasa pedang, panah, dan gada.

Darah membanjir di Kurusetra.

Tak ada harum bunga.

Tinggal anyir yang tersisa.

Debu membumbung di Kurusetra.

Tak ada segar udara.

Tinggal perih dan sesak yang terasa.

Kalah dan menang telah kehilangan makna.

Gemuruh perang terus saja membahana.

Gemuruh perang ada di mana-mana.

Gemuruh perang tak hanya ada di Kurusetra.

Gemuruh perang juga terdengar dari dalam dada Duryodana.

(wayang tokoh Duryodana ditampilkan seolah gelisah, mengalami perang batin yang dahsyat)

Gugurnya Bisma, Bogadenta, Jayadrata, Guru Drona,

juga kematian anaknya, Laksmana,

telah membuatnya limbung.

Akankah perang masih saja diteruskan?

Berapa banyak lagi yang akan dikorbankan?

Ya! Perang tak berkesudahan ada di dalam dada Duryodana,

sang Penguasa Astina.

BABAK I

DURYODANA MENGANGKAT KARNA MENJADI PANGLIMA

Duryodana muncul mundur dari sisi kiri. Gelagatnya tampak gelisah. Mukanya murung.

Karna datang dari sisi kanan. Melihat Duryodana yang berdiri membelakanginya dan tampak sedang melamun, Karna diam sejenak, lalu menunjukkan sikap gusar. Kemudian Karna memulai dialog.

01. KARNA

Duryodana. Kau memanggilku? Duryodana! Duryodana!!

02. DURYODANA

Oh. Kakak. Silahkan, Kak. Maaf, aku sedang….

03. KARNA

Sudahlah! Aku tahu. Dan, sekarang aku sudah ada di hadapanmu. Apa yang akan kauperintahkan kepadaku?

04. DURYODANA

Rasanya aku sudah tidak punya kekuatan lagi, Kak. Begitu juga untuk memberi perintah apapun kepadamu.

05. KARNA

Apa gerangan yang membuatmu kehilangan kekuatan, Duryodana? Perang memang selalu meminta korban. Sampai kapan kau akan menyesali kematian anakmu, Laksmana, atau gugurnya adikmu, Dursasana dan Bogadenta?! Apakah kau sudah benar-benar siap kehilangan tahta Astina?! Atau kau sudah siap menjadi budak di Amarta?! Aku masih ada bersamamu, Duryodana.

06. DURYODANA

Tapi….

07. KARNA

Tapi apa?! Kau mulai didera rasa takut?!

08. DURYODANA

Tidak….

09. KARNA

Lalu apa yang membuat pundakmu miring sebelah?!

10. DURYODANA

Aku tidak ingin ada keluargaku yang menjadi korban lagi.

11. KARNA

Dan karena itu kau akan menyerah begitu saja?! Kau akan membiarkan darah yang mengucur dari tubuh Eyang Bisma dan Guru Drona itu sia-sia?! Oh, betapa kecewanya mereka di sana….

12. DURYODANA

Tidak! Aku pasti membalas atas kematian mereka. Aku pasti akan meminum darah pembunuh anakku! Aku akan memanggang tubuh pembunuh adikku!!

13. KARNA

Kau tidak akan pernah melakukan apapun, Duryodana. Kurusetra bukan tempat untuk saling membalas dendam! Salah jika maju ke medan laga berbekal amarah! Kau akan kalah! Kau harus berbekal keberanian! Kau harus yakin mendapatkan kemenangan!

14. DURYODANA

Sudah kubilang, aku bukan penakut!

15. KARNA

Kau memang bukan penakut. Tapi, nyalimu ciut! Sadarlah, Duryodana! Ini bukan hanya kepentingan keluarga, sehingga kau bersemangat untuk menang hanya karena keluargamu telah menjadi korban!

16. DURYODANA

Aku memang semakin bingung dengan perang ini. Aku semakin tidak tahu apakah harus menang atau kalah.

17. KARNA

Sudahlah! Perang ini belum usai. Dan, kita belum kalah Duryodana! Karena kita memang akan menang! Besok pagi, izinkan aku yang memimpin pasukan.

18. DURYODANA

Tunggu dulu, Kak!

19. KARNA

Menunggu apa lagi?!

20. DURYODANA

Sebaiknya jangan Kakak yang menjadi panglima besok pagi.

21. KARNA

Apa masalahnya? Apakah aku tidak sepadan dengan para perwira Astina yang telah gugur itu?! Katakan saja! Atau kau tidak yakin dengan kesetiaanku karena aku bukan saudara kandungmu? Karena aku hanya kakak angkatmu? Atau karena aku hanya kakak ipar istrimu?!

22. DURYODANA

Tidak, Kak. Bukan itu masalahnya. Tapi, bagaimana dengan Surtikanthi, istrimu?

23. KARNA

Oh, Duryodana…. Kenapa kausebut nama perempuan di saat kita sedang membicarakan masalah perang? Bicara perang berarti bicara keberanian, Duryodana. Keberanian hanya ada di dalam dada para lelaki! Untuk berani maju ke medan perang, aku tidak butuh izin istriku! Untuk berperang, aku hanya butuh keberanian! Itu saja!

24. DURYODANA

Tapi tidak sesederhana itu….

25. KARNA

Sudahlah! Medan perang tidak butuh orang yang pandai mengayunkan pedang. Tidak butuh orang yang terampil memainkan tombak. Karena medan perang bukan panggungnya para badut! Tak ada gunanya kuat mengangkat busur, cekatan melepaskan anak panah, bahkan tangguh menunggang kuda, jika yang dimiliki hanya rasa takut!

26. DURYODANA

Ya. Benar. Aku percaya dengan keberanianmu. Aku sangat berterimakasih atas kesetiaanmu. Tapi, bukankah kau belum pernah menjadi panglima perang sebesar ini sebelumnya?

27. KARNA

Jika pengalaman berperang itu menjamin kemenangan, tentu para perwira yang kauangkat menjadi panglima itu tidak akan tewas bersimbah darah di Kurusetra! Kurang apa dengan Eyang Bisma Dewabrata?! Siapa yang berani menyangsikan ketepatannya membidikkan anak panah?! Toh akhirnya kalah hanya oleh Srikandhi, prajurit wanita! Kurang apa dengan kepiawaian Guru Drona menyusun srategi? Toh akhirnya tewas hanya karena tipuan murahan Kresna!

28. DURYODANA

Baik. Jika begitu, apa yang harus kulakukan?!

29. KARNA

Ohhh, Duryodana…. Aku harus bilang apa lagi?! Kaurestui ataupun tidak, aku akan tetap berangkat ke medan perang melawan prajurit Amarta, karena aku prajurit Astina!

30. DURYODANA

Baiklah, Kak. Hari ini aku mengangkatmu menjadi panglima perang Astina. Pergilah ke padang Kurusetra. Dan, bawalah kemenangan untuk Duryodana. Sekarang, katakan siapa yang kaupercaya untuk menjadi kusir kereta perangmu?

31. KARNA

Aku butuh seorang kusir yang kesetiaannya pada Astina tidak diragukan lagi. Dia juga harus pemberani dan ahli perang.

32. DURYODANA

Menurutmu, siapa yang pantas menjadi kusir agung itu?

33. KARNA

Ayah.

34. DURYODANA

Maksudmu Paman Adirata?

35. KARNA

Bukan. Maksudku ayah mertua kita.

36. DURYODANA

Apa?! Aku tidak berani….

37. KARNA

Terbukti! Kau memang penakut!

38. DURYODANA

Apakah ayah Salya akan bersedia?

40. KARNA

Itu tugasmu!

(berbalik lalu pergi meninggalkan Duryodana sendirian)

Pause.

Wayang tokoh Duryodana diangkat menjauh dari kelir, mendekati blencong, lalu hilang.

Lagu Sorak-sorak dinyanyikan lagi.

Bayangan kayon muncul memenuhi kelir lagi. Wayang tokoh Arjuna ditampilkan gelisah.

Narasi:

Genderang perang kian keras terdengar.

Anyir telah menenggelamkan Kurusetra.

Sesak kian menghunjam dada.

Perang tidak juga berkesudahan.

Perang juga berkecamuk di dalam dada Arjuna

Kematian Irawan masih menyisakan airmata.

Gugurnya Abimanyu makin membuat hatinya luluh.

Tak ada lagi ambisi.

Keputus-asaanlah yang kini menguasai.

Gemuruh perang makin seru saja.

Ya. Pertempuran sengit telah terjadi di dalam dada Arjuna,

sang Panglima Amarta.

BABAK II

ARJUNA MENGUTARAKAN KEBIMBANGANNYA KEPADA KRESNA

Arjuna muncul dari sisi kiri berjalan ke tengah, tampak menunduk, memikirkan sesuatu.

Kresna mengikutinya dari belakang, tampak gusar. Kemudian mengawali dialog.

01. KRESNA

Apa lagi yang kaupikirkan, Adikku?

02. ARJUNA

Apa lagi kalau bukan perang ini, Kak.

03. KRESNA

Bagus! Memang begitulah seharusnya. Kau seorang panglima di Amarta. Tugasmu memang harus memikirkan hal itu. Mencari cara, strategi, taktik, atau apapun istilahnya, untuk memenangkan pertempuran.

04. ARJUNA

Kak! Apa pentingnya memenangkan pertempuran bagimu?

05. KRESNA

Kau bertanya kepadaku, Arjuna?!

06. ARJUNA

Ya! Apa pentingnya menang dalam perang ini?!

07. KRESNA

Hahaha…. Kalimatmu menggelikan, Arjuna. Jika saja ini perangku, pastilah pertanyaanmu akan kujawab dengan tegas. Tapi, ini perangmu, Arjuna!

08. ARJUNA

Aku tidak akan mau ikut bertanggungjawab atas semua akibat dari terjadinya perang ini. Dan, aku sudah tidak ingin banyak terlibat lagi.

09. KRESNA

Hahaha…. Arjuna…, Arjuna. Aku tidak menyangka, ternyata kau juga bisa bercanda. Hahaha….

10. ARJUNA

Aku tidak sedang ingin bercanda, Kak.

11. KRESNA

Lalu, bagaimana kau bisa mengatakan tidak ikut bertanggungjawab atas perang ini?! Amarta adalah milikmu; milik kalian para putra Pandhu. Amarta bukan milikku. Semua orang tahu, yang menjadi panglima Amarta itu Arjuna. Bukan Kresna! Hahaha…, kau masih ingin bilang tidak bercanda?!

12. ARJUNA

Aku tidak menginginkan perang ini.

13. KRESNA

Oh, ya? Apa alasanmu?

14. ARJUNA

Perdamaian lebih baik daripada permusuhan.

15. KRESNA

Kau yakin itu? Hahaha…, aku tidak yakin kau memahami kata-katamu sendiri, Arjuna. Tanganmu sudah terlanjur berlumuran darah para perwira Astina. Dan, sekarang kaubilang perdamaian lebih baik.

16. ARJUNA

Aku menyesal, Kak. Aku menyesal telah menuruti ambisi saudara-saudaraku. Aku menyesal telah tega membunuh mereka, pemuda-pemuda belia, yang diperalat oleh para pemburu kekuasaan.

17. KRESNA

Hahaha…. Arjuna. Aku turut sedih. Sedih mendengar penyesalan seseorang yang tidak bersikap ksatriya.

18. ARJUNA

Apa arti sikap ksatriya, Kak?! Apakah dengan berani maju ke medan laga itu berarti ksatriya?! Apakah jika tidak merasa berdosa membunuh siapapun yang dianggap musuh itu sikap ksatriya?! Apakah pura-pura buta melihat penderitaan rakyat akibat perang itu ksatriya? Apakah pura-pura tuli mendengar jeritan anak dan istri mereka yang gugur di pabaratan itu ksatriya? Katakan padaku, Kak! Apa artinya ksatriya?!

19. KRESNA

Baiklah, Adikku. Sederhana saja. Sikap ksatriya adalah keberanian untuk mengakui kesalahan sendiri.

20. ARJUNA

Hanya itukah?!

21. KRESNA

Ya. Dalam hal ini, hanya itu. Dan sesederhana itu. Mengakui keterlibatanmu sebagai penyebab terjadinya perang, itu ksatriya. Menyalahkan saudara-saudaramu sebagai penyebabnya itu berarti kau pecundang, Arjuna. Mengakui bahwa di dalam dirimu juga ada ambisi untuk menguasai, itulah sikap ksatriya. Menuding orang lain sebagai pemburu kekuasaan, itu tabiat pecundang, Arjuna.

22. ARJUNA

Aku tidak peduli lagi apakah aku ksatriya atau bukan! Sekarang, aku hanya ingin perdamaian. Sudah terlampau banyak yang menjadi korban kekejian perang. Hanya demi nama besar, kekuasaan, tahta, dan sekeping kebanggaan, kita telah menafikan arti perdamaian, Kak.

23. KRESNA

Hahaha…, apa yang kautahu tentang perdamaian, Arjuna?

24. ARJUNA

Aku tahu dengan jelas!

25. KRESNA

Oh, ya?!

26. ARJUNA

Ya! Jika aku memilih perdamaian berarti Irawan masih hidup hingga saat ini! Dengan perdamaian, Abimanyu tidak akan pergi dengan ratusan anak panah yang menancap di tubuhnya! Dengan perdamaian, menantuku tidak akan melahirkan tanpa kehadiran suami di sampingnya! Dengan perdamaian, cucuku tidak akan lahir yatim, Kak!

27. KRESNA

Seka airmatamu itu, Arjuna! Lelaki pantang menangis!

28. ARJUNA

Teganya kau melarang seorang ayah menangisi kematian anaknya.

29. KRESNA

Setiap yang bernyawa pada akhirnya akan mati, Arjuna! Termasuk kita: kau dan aku! Bukan hanya anakmu! Kau tahu itu?!

30. ARJUNA

Sepertinya kau tidak pernah merasa punya anak, Kak!

31. KRESNA

Kalau hanya untuk menangisi kematian, kenapa tidak kautangisi kematianmu sendiri saja?!

32. ARJUNA

Haruskah aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu yang membuat hatiku semakin bimbang?!

33. KRESNA

Sudah kuduga. Kau memang sedang dikuasai oleh kebimbangan. Kau bingung memahami apa itu keberanian dan apa itu ketakutan! Kaugunakan istilah “berani berdamai” untuk mengganti istilah “takut berperang”, dan kauanggap itu sudah benar! Kaugunakan kata “kasihan” untuk mengganti kata “kejam”!

34. ARJUNA

Ahhh…, aku semakin bingung mendengarkanmu.

35. KRESNA

Tentu saja kau bingung. Karena kau menginginkan kebingungan itu. Lalu, kau akan berlindung di balik kebingungan itu agar kau tetap disebut pemberani, pahlawan, ksatriya! Padahal kau penakut, pengecut, pecundang!

36. ARJUNA

Aku menginginkan perdamaian, Kak! Hanya perdamaian! Titik!

37. KRESNA

Baik. Tapi, apakah jika Arjuna menginginkannya, itu berarti Duryodana juga bersedia?! Apakah jika Amarta menarik pasukannya, lalu Astina berhenti menyerang?! Apakah jika kau mengalah, Duryodana lantas mau menurunkan panji-panji perangnya?! Apakah jika kau memilih diam tidak melawan, lantas tidak akan ada korban yang berjatuhan?! Ayo! Sekarang jawab pertanyaanku, Arjuna!

38. ARJUNA

Ahhh…. Entahlah!

(pergi begitu saja dan Kresna segera mengejarnya)

Pause.

Lagu Sorak-sorak dinyanyikan lagi.

Bayangan kayon muncul memenuhi kelir lagi. Wayang tokoh Surtikanthi ditampilkan gelisah.

Karna datang menghampiri.

Terdengar tembang Asmaradana vokal pria.

BABAK III

ROMAN ANTARA KARNA DAN SURTIKANTHI

01. KARNA

Istriku…. Kekasihku…. Sayangku…. Pujaanku…. Hey, coba pandanglah suamimu ini. Tidakkah kau ingin memberiku kecupan mesra di kedua pipi sebelum lelaki tampan ini berangkat ke Kurusetra?

02. SURTIKANTHI

Aku tidak mau. Aku tidak mau jika akhirnya hanya akan menjadi kecupan terakhir.

03. KARNA

Hey, apa maksudmu Surtikanthi?

04. SURTIKANTHI

Bukankah kau akan pergi?!

05. KARNA

Oh, Surtikanthi. Kenapa kau tidak pandai memilih diksi?! Aku akan berangkat! Bukan pergi!

06. SURTIKANTHI

Apa bedanya?! Toh, kau juga akan meninggalkanku!

07. KARNA

Tidak, Sayang. Aku hanya akan berangkat berperang! Bukan pergi meninggalkanmu!

08. SURTIKANTHI

Kapan kau akan kembali? Kapan?! Kau pasti tak akan bisa menjawab.

09. KARNA

Tentu aku bisa menjawabnya! Aku akan pulang setelah perang usai. Dan, aku pasti pulang membawa kemenangan!

10. SURTIKANTHI

Bohong! Kau bohong!! (menangis)

11. KARNA

Hey, usap airmatamu! Aku tidak bohong Surtikanthi!

12. SURTIKANTHI

Kau bohong! Kau sudah tidak mencintaiku lagi! Silahkan pergi! Biarkan aku sendiri!

13. KARNA

Ayolah, Surtikanthi. Hentikan tangismu itu. Jika memang salah, katakan apa salahku! Jangan hanya membuatku merasa bersalah tanpa mengerti apa yang salah.

14. SURTIKANTHI

Aku tidak mau kau pergi.

15. KARNA

Apa artinya?! Kau tidak mengizinkan aku berangkat berperang?! Begitukah maksudmu?!

16. SURTIKANTHI

Kenapa harus berperang?

17. KARNA

Itu tugasku!

18. SURTIKANTHI

Memangnya apa jabatanmu, sehingga harus berperang?!

19. KARNA

Aku prajurit!

20. SURTIKANTHI

Apakah prajurit yang maju berperang harus menang?!

21. KARNA

Ya! Harus menang!

22. SURTIKANTHI

Apakah prajurit yang maju berperang pasti akan menang?!

Sontak, Karna membisu, lalu berpaling.

23. SURTIKANTHI

Ayo jawab! Apakah prajurit yang maju berperang pasti akan menang?! Kenapa tidak kaujawab! (tangisnya makin jelas)

Terdengar rebaban tlutur.

Disusul sulukan tlutur vokal pria

Ditingkahi tembang dhandanggula tlutur vokal putri

Karna dan Surtikanthi saling membelakangi. Mereka saling diam. Cukup lama.

24. KARNA

Surtikanthi. Maafkan aku. Ya. Maafkan aku, istriku. Maafkanlah suami.

(sepertinya juga sudah menangis)

25. SURTIKANTHI

Minta maaf atas apa? Kau sudah terlanjur memilih jalan prajurit. Dan, kau tampaknya sangat mencintai jalan itu. Mungkin melebihi cintamu padaku.

26. KARNA

Tidak! Tidak ada yang kucintai melebihi cintaku pada dirimu. Basukarna sangat mencintaimu Surtikanthi. Basukarna akan selalu mencintaimu sampai kapanpun. Yakinlah itu.

27. SURTIKANTHI

Aku benci kata-katamu. Aku benci kau mengatakan lagi kalimat itu. Aku benci kau mengatakannya saat akan meninggalkanku. Aku benci cintamu….

(mendekat dan akhirnya memeluk tubuh suaminya)

28. KARNA

Oh, Surtikanthi. Aku mencintaimu….

Adegan 17+ dimulai dari sekarang.

Terserah kreativitas Dhalang untuk memamerkan teknik bayangan yang luar biasa indah.

Hanya ada ilustrasi dari biola dan lirik tembang Gambuh yang samar terdengar selama adegan ini.

29. KARNA

Surtikanthi. Sekarang izinkan aku berangkat.

30. SURTIKANTHI

Kenakan dulu baju jirahmu.

Tokoh Karna dengan wayang Suryatmaja itu masuk ke sisi kiri diikuti istrinya. Sebentar kemudian muncul lagi dengan penampilan sebagai Adipati Basukarna.

31. SURTIKANTHI

Kau semakin tampan dan gagah dengan baju ini. (sudah bisa tersenyum)

32. KARNA

Kau juga semakin cantik dengan senyum itu. Izinkan aku berangkat sekarang. Doakan aku mendapat kemenangan.

33. SURTIKANTHI

Kau pasti akan menang. Karena, cintaku bersamamu.

34. KARNA

Aku mencintaimu….

(melepaskan pegangan tangan, mundur, dan hilang)

35. SURTIKANTHI

Aku juga sangat mencintaimu….

Pause.

Wayang Surtikanthi dijauhkan dari kelir, didekatkan ke blencong, sehingga bayangannya semakin besar dan kabur, lalu hilang. Kayon dimunculkan dekat dengan blencong sehingga bayangannya memenuhi kelir.

Lagu Sorak-sorak terdengar lagi.

BABAK IV

SALYA TIDAK BERKENAN MENJADI KUSIR KERETA KARNA

Salya tiba-tiba muncul dari sisi kiri dan bicara dengan nada kesal. Duryudana muncul di belakangnya.

01. SALYA

Kau sudah tidak waras, Duryodana! Sepertinya kau sudah tidak ingat bahwa aku ini mertuamu! Kalau memang Karna yang menginginkannya, suruh dia datang sendiri dan mengatakannya sendiri di hadapanku. Aku ingin melihat. Apakah dia juga sudah tidak punya adat seperti halnya dirimu?!

02. DURYODANA

Apa yang telah membuat Ayah marah?

03. SALYA

Bisa-bisanya kau bertanya seperti itu, Duryodana?!

04. DURYODANA

Apakah pekerjaan menjadi kusir itu hina?

05. SALYA

Apakah aku juga perlu menjawabnya?!

06. DURYODANA

Jika memang hina, kenapa dulu Ayah mau menjadi besan Paman Adirata?! Bukankah dia hanya seorang kusir?!

07. SALYA

Jangan samakan masalah ini dengan hal itu, Duryodana!

08. DURYODANA

Bukankah berdekatan dengan sesuatu yang hina pada akhirnya juga akan ikut hina?!

09. SALYA

Tutup mulutmu, Duryodana!!

10. DURYODANA

Katakan saja jika memang Ayah sudah kehilangan keberanian.

11. SALYA

Itu bukan watakku!

12. DURYODANA

Lalu apa penyebabnya, sehingga Ayah tidak mau mengusiri kereta perang Karna?

13. SALYA

Aku ingin aku sendiri yang menjadi panglima! Kau dengar itu?!

14. DURYODANA

Aku tidak mengerti dengan maksud Ayah.

15. SALYA

Burisrawa telah menjadi korban perang ambisi kalian! Kau masih ingin menanyakan alasan seorang ayah maju ke palagan?!

16. DURYODANA

Tak ada gunanya membahas mereka yang telah mati!

17. SALYA

Apa katamu?! Lancang kau, Duryodana!!

18. DURYODANA

Aku juga sudah kehilangan anak, Ayah. Bukan hanya anak. Tapi juga kakek, adik, dan guruku!

19. SALYA

Itu urusanmu! Kau yang menginginkan perang ini. Bukan aku! Dan, tidak seharusnya keluargaku ikut jadi korban!

20. DURYODANA

Apakah Ayah lupa bahwa Banowati, istriku, itu anakmu? Apakah Ayah lupa bahwa Surtikanthi, istri Karna, juga anakmu?!

21. SALYA

Apa kaitan masalah ini dengan mereka?!

22. DURYODANA

Ayah benar-benar sudah tidak peduli dengan keselamatan mereka?!

23. SALYA

Jangan asal bicara, Duryodana!!

24. DURYODANA

Dengan tidak mau mendampingi Karna di Kurusetra, berarti Ayah sudah tidak mau tahu dengan keselamatan kami dan kemenangan kami.

25. SALYA

Tidak ada yang tahu siapa yang akan menang atau justru kalah di medan perang! Termasuk aku! Salya bukan bukan Tuhan! Kau tahu itu!!

26. DURYODANA

Terserah apa kata Ayah! Tapi, mengertilah, Ayah. Kemenangan Karna adalah kemenangan Astina. Kemenangan Astina adalah kemuliaanku. Itu artinya, juga kemuliaan bagi anakmu, Banowati dan Surtikanthi!

(pergi meninggalkan Salya)

Salya tertunduk tak berdaya.

Pause.

Instrumentalia lagu Sorak-sorak terdengar lirih.

Narasi:

Ternyata perang memang selalu dimulai dan tak pernah kita tahu kapan akan usai.

Dalam diam, Salya menyaksikan kacaunya palagan. Bukan palagan Kurusetra. Palagan itu ada di dalam dada. Ya. Perang itu terjadi di dalam dada Salya.

BABAK V

KRESNA MENGINGATKAN SALYA

Salya muncul dari sisi kiri, berjalan cepat hingga hilang di sisi kanan. Muncul lagi dari sisi kiri, mendadak berhenti, tampak ragu, menoleh belakang, kembali melangkah, tapi kemudian berbalik dan berjalan ke sisi kiri.

Kresna muncul dari sisi kanan, memperhatikan Salya dari jauh, lalu mengejar dan berusaha menghentikannya. Kresna menyapa Salya dari belakang.

01. KRESNA

Paman! Paman Salya! Tunggu, Paman!

02. SALYA

Ada apa, Kresna?

03. KRESNA

Hey, seharusnya aku yang bertanya begitu kepadamu, Paman. Kenapa justru terbalik?!

04. SALYA

Kau yang memanggilku. Tentunya kau juga yang membutuhkanku. Salahkah jika aku menanyakan keperluanmu?

05. KRESNA

Hahaha…, benarkah yang baru kudengar tadi kalimat milik pamanku yang tampan dan baik hati?

06. SALYA

Aku tidak punya banyak waktu untuk bercanda, Kresna.

07. KRESNA

Baik. Aku juga sedang tidak berselera untuk itu. Dan, sekarang izinkan aku bertanya, Paman?

08. SALYA

Tentang apa?

09. KRESNA

Hey…, tampaknya Paman juga sedang tidak bergairah untuk mendengar pertanyaan.

10. SALYA

Katakan saja pertanyaanmu. Gurauanmu sudah basi.

11. KRESNA

Oh! Hahaha…, ayolah, Paman. Mana mungkin rembulan tampak indah jika tertutup awan hitam?!

12. SALYA

Ini siang hari, Kresna! Rembulan yang mana yang kaumaksudkan?!

13. KRESNA

Oh! Apakah aku tadi bicara tentang rembulan? Bukan. Bukan rembulan, Paman. Aku bicara tentang wajah….

14. SALYA

Maksudmu wajahku?!

15. KRESNA

Aku tidak bilang begitu.

16. SALYA

Lantas wajah siapa?! Di sini hanya ada kita!

17. KRESNA

Emm…, wajah…, wajah rembulan. Eit, maaf. Bukan. Maksudku…, wajah Paman. Ya, wajahmu, Paman. Tepat sekali. Wajah Paman Salya.

18. SALYA

Ahh…. Aku ingin bertanya kepadamu, Kresna.

19. KRESNA

Oh, ya? Bukankah sejak tadi Paman terus saja bertanya dan aku sesekali menjawabnya?

20. SALYA

Ini pertanyaan yang ada kaitannya dengan wajahku yang sekarang murung.

21. KRESNA

Oh, ya? Paman sedang murung? Rupanya dari tadi Paman murung. Kenapa baru bilang?

22. SALYA

Cukup bercandanya, Kresna!

23. KRESNA

Baik. Kalau begitu, katakanlah Paman. Apa yang membuat dahimu berkerut?

24. SALYA

Menurutmu, apa kewajiban menantu kepada mertua!

25. KRESNA

Hey, kenapa Paman bertanya tentang hal itu? Atau jangan-jangan Paman ingin menikah lagi.

26. SALYA

Jawab saja pertanyaanku. Atau silahkan pergi saja jika mau.

27. KRESNA

Baik. Aku pergi sekarang. Sampai jumpa….

28. SALYA

Tunggu! Tunggu dulu, Kresna….

29. KRESNA

Ada apa lagi, Paman? Kelihatannya Paman sedang ingin sendiri. Daripada mengganggu, sebaiknya aku pergi saja.

30. SALYA

Tidak. Aku ingin ditemani. Bantulah aku, Kresna. Kumohon, jawablah pertanyaanku tadi.

31. KRESNA

Baik. Menurutku kewajiban seorang menantu yang paling utama adalah berbakti dengan tulus kepada mertua sebagaimana mertua juga mengasihinya dengan tulus. Terbukti, anak yang dicintai, begitu saja diserahkan kepada orang yang bukan saudara ataupun tetangga yang jelas dikenal. Begitu tulusnya kepercayaan seseorang yang disebut mertua kepada seseorang yang baru dikenalnya, yang disebut menantu. Itu jawabanku, Paman. Bagaimana menurutmu?

32. SALYA

Aku belum merasakan hal itu.

33. KRESNA

Maksud Paman?!

34. SALYA

Sebagai orang yang sudah tua dan menjadi mertua, aku belum merasakan tulusnya bakti seorang menantu, sekalipun. Meski aku sudah memiliki tiga menantu.

35. KRESNA

Oh, maaf. Ini masalah keluarga Paman. Aku tidak berhak ikut campur. Aku mohon diri, Paman….

36. SALYA

Tunggu dulu, Kresna! Aku masih akan menanyakan sesuatu. Tunggu….

37. KRESNA

Jika masih tentang menantu, aku tidak mau.

38. SALYA

Bukan. Ini hal lain. Sungguh. Bukan tentang menantu, Kresna.

39. KRESNA

Tentang apa, Paman?

40. SALYA

Ahh…, begini, Kresna. Menurutmu, pantaskah aku menjadi kusir?

41. KRESNA

Menjadi kusir?!

42. SALYA

Ya. Menjadi kusir kereta.

43. KRESNA

Aneh. Pertanyaan yang aneh. Mengapa Paman baru menanyakannya sekarang? Sungguh sudah terlambat.

44. SALYA

Terlambat?! Apa maksudmu?

45. KRESNA

Ya. Terlambat. Maaf, Paman. Bukankah sejak menikahi Bibi Setyawati, berarti Paman Salya telah menjadi kusir? Paman menjadi kusir yang mengendalikan jalannya kereta rumah tangga yang ditumpangi Bibi Setyawati. Bukankah sejak dinobatkan sebagai pemimpin di Mandaraka, Paman adalah kusir? Paman Salya adalah kusir yang bertanggungjawab penuh terhadap jalannya kereta pemerintahan di Mandaraka. Kenapa baru menyadari sekarang?

46. SALYA

Bukan itu. Maksudku bukan itu, Kresna. Ini kusir yang sebenarnya. Pantaskah aku menjadi kusir kereta? Kusir kereta perang?!

47. KRESNA

Oh, ya? Siapa yang menyuruh Paman menjadi kusir kereta perang?

48. SALYA

Duryodana. Menantuku satu-satunya yang paling kaya dan paling mulia itu!

49. KRESNA

Oh! Lalu siapa yang akan menggunakan kereta perang itu?

50. SALYA

Basukarna. Menantuku satu-satunya yang paling gagah dan paling tampan di dunia itu!

51. KRESNA

Hahaha…, kenapa Paman membohongiku?

52. SALYA

Aku tidak bohong, Kresna! Duryodana memang memintaku menjadi kusir kereta perang Basukarna yang sudah diangkatnya menjadi panglima Astina!

53. KRESNA

Bukan itu maksudku, Paman. Tapi, ternyata Paman masih bertanya tentang hal yang berhubungan dengan menantu dan mertua. Maaf, sekali lagi, aku tidak berhak ikut campur, Paman.

54. SALYA

Tapi, Kresna. Kumohon jangan pergi dulu. Jawab dulu pertanyaanku yang terakhir!

55. KRESNA

Siapa yang akan pergi, Paman? Aku masih di sini. Tenanglah.

56. SALYA

Terus terang aku bingung, Kresna.

57. KRESNA

Menurutku, sebenarnya Paman tidak sedang bingung. Paman hanya terlalu lama berpikir, menimbang-nimbang mana yang harus dipilih, sehingga membingungkan diri sendiri.

58. SALYA

Memilih apa Kresna?! Aku tidak sedang memilih!

59. KRESNA

Maafkan jika aku lancang. Daripada bertele-tele, lebih baik kujelaskan saja. Begini, Paman. Jujurlah! Bukankah Paman sangat ingin membalas kematian Burisrawa, putra bungsumu? Bukankah Paman sesungguhnya juga khawatir dengan masa depan Banowati jika Duryodana kalah? Dan bukankah Paman juga sama khawatir terhadap Surtikanthi jika akhirnya Basukarna gugur di pabaratan?!

60. SALYA

Bagaimana kau bisa tahu?!

61. KRESNA

Itu tidak penting, Paman. Yang penting, Paman harus bangga bahwa Burisrawa telah gugur sebagai pahlawan. Dia korbankan nyawa untuk melindungi keluarganya: kakak kandung dan kakak iparnya. Pantaskah disesali?! Sekarang Basukarna akan maju menjadi panglima. Jika Paman tidak mau menjadi kusirnya, berarti sudah rela Surtikanthi menjadi janda.

62. SALYA

Dia bukan anak kecil yang harus selalu dijaga. Apalagi oleh mertuanya!

63. KRESNA

Ingat, Paman. Kekuatan Astina tinggal bergantung pada Basukarna dan Paman sendiri. Jika kalian sudah tidak bisa disatukan, ini isyarat bahwa Astina akan kalah. Satu lagi, Paman. Kemenangan Astina berarti juga kemuliaan bagi putrimu!

(lalu pergi begitu saja meninggalkan Salya)

Pause.

Wayang tokoh Salya dijauhkan dari kelir, didekatkan ke blencong, sehingga bayangannya semakin besar dan kabur, lalu hilang.

Kayon dimunculkan dekat dengan blencong sehingga bayangannya memenuhi kelir.

Lagu Sorak-sorak terdengar lagi.

Lalu muncul Kunthi tertunduk lemah di tengah. Muncul bayangan besar dan kabur Karna dan Arjuna berhadapan.

Petikan siter liar terdengar.

Narasi:

Dari dada seorang wanita pun keras terdengar gemuruh perang. Dari mata bening wanita tua pun jelas nampak betapa sengitnya pertempuran. Kunthi bukan hanya menyaksikan. Kunthi bahkan sedang berperang. Ya. Berperang dengan dirinya sendiri. Entah kapan perang itu akan usai….

Mungkin segera datang waktunya. Mungkin juga tak akan pernah tiba.

Karena perang hanya selalu bermula dan akan terus ada.

BABAK VI

KARNA, KUNTHI, DAN ARJUNA BERTEMU

Kunthi muncul dari sisi kiri dan berhenti tepat di tengah.

01. KUNTHI

Oh, perang! Mengapa kau harus ada? Mengapa harus kaulibatkan anakku?! Mengapa harus ada yang kalah dan menang? Kau tahu, di kedua sudut itu ada anakku! Keduanya anakku! Jika aku menginginkan keduanya menang, apakah kau dapat membantuku?! Oh, Tuhan!

Karna datang dari sisi kanan.

02. KARNA

Ibu, aku datang untuk meminta restumu. Restuilah anak lelakimu. Aku maju ke medan perang untuk menunaikan kewajiban mulia. Kau harus bangga, Ibu.

03. KUNTHI

(menangis) Ya. Ibu, bangga, Karna.

Arjuna datang dari sisi kiri.

04. ARJUNA

Ibu, putramu datang memohon restu. Restuilah Arjuna maju ke medan laga.

05. KUNTHI

Oh, Arjuna. Kau tahu siapa yang ada di depan Ibumu ini, Nak?

06. ARJUNA

Ya. Aku mengenalnya. Dia putra Paman Adirata.

07. KUNTHI

Bukan, Arjuna!

08. KARNA

Ya. Aku memang bukan hanya putra Adirata, Arjuna. Aku Basukarna, panglima Astina.

09. KUNTHI

Dia kakakmu, Arjuna!

10. KARNA

Bukan, Arjuna! Aku musuhmu! Karena kau panglima Amarta

11. KUNTHI

Bukan, Arjuna! Dia saudaramu! Basukarna anakku dengan Surya. Kalian saudara!

12. ARJUNA

Mimpi apa lagi aku ini?!

13. KARNA

Aku mohon diri, Ibu. Kutunggu kau di Kurusetra, Arjuna.

(pergi)

14. KUNTHI

Tunggu, Karna…. Urungkan perang ini, Nak…. Karna! Kau dengar Ibu?! Oh, Tuhan….

15. ARJUNA

Aku juga mohon diri, Ibu. Doakan aku….

16. KUNTHI

Tunggu dulu, Arjuna! Yang kukatakan tadi benar, Nak. Dia kakakmu! Batalkan niatmu untuk saling membunuh!

17. ARJUNA

Andai saja aku boleh memilih itu….

(pergi)

Kunthi terpaku mematung.

Kesedihan yang mencekam itupun datang.

Di atas, bayangan Arjuna berhadapan dengan Karna.

Sulukan tlutur kembali terdengar.

18. ARJUNA

Mari kita selesaikan perang ini.

19. KARNA

Bersiaplah menerima kekalahanmu, Arjuna!

Terdengar suara jeritan rebab dan biola.

Bayangan Karna dan Arjuna hilang.

Tak lama kemudian ada kelebat anak panah yang mengarah ke sisi kanan.

Karna muncul dari sisi kanan dengan anak panah tepat menancap di jantungnya.

20. KARNA

Akhhh…. , Ibu! Aku menang, Ibu. Aku telah berhasil menjadi prajurit! Kau harus bangga, Ibu!

(jatuh gugur)

Arjuna muncul dari sisi kiri. Tertunduk sedih.

21. ARJUNA

Maafkan aku, Ibu! Aku telah kalah. Aku kalah melawan ambisi sendiri. Maafkan aku, Basukarna!

Kunthi berbalik dan kembali terpaku.

TAMAT

Meskipun gemuruh belum juga reda.

Meskipun perang masih terus ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar